BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Mempelajari
Pokok Bahasan ini:
Setelah selesai mempelajari bab 1 mahasiswa dapat menyebutkan
definisi psikologi, pendidikan dan psikologi pendidikan, serta dapat
menyebutkan ruang lingkup psikologi pendidikan dan sumbangan psikologi
pendidikan baik secara teoritis maupun praktis.
A. Definisi Psikologi
Psikologi
berasal dari kata dalam bahasa Yunani Psychology yang merupakan gabungan
dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos
berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa.
Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu
merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak
dapat dimungkiri keberadaannya. Dalam beberapa dasawarsa ini istilah jiwa sudah
jarang dipakai dan diganti dengan istilah psikis.
Beberapa ahli mempelajari jiwa atau
psikis dan gejala-gejala yang diakibatkan oleh keberadaan psikis tersebut.
Dimyati Mahmud (1989) menjelaskan bahwa manusia menghayati kehidupan kejiwaan
berupa kegiatan berfikir., berfantasi, mengingat, sugestif, sedih dan senang,
berkemauan dan sebagainya. Yang termasuk dalam gejala kejiwaan adalah gejala
pengenalan (kognisi), gejala perasaan (emosi), gejala kehendak (konasi), dan
geiala campuran (kombinasi).
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990) dinyatakan
bahwa Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik
yang dapat dilihat secara langsung
maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung. Dakir (1993) menyatakan bahwa
psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Muhibbin Syah (2001) menyimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu
maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka
adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara,
duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi
berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
Dari beberapa definisi tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam
hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang
tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak
disadari.
Pada
hakekatnya tingkah laku manusia itu sangat luas, semua yang dialami dan
dilakukan manusia merupakan tingkah laku. Semenjak bangun tidur sampai tidur
kembali manusia dipenuhi oleh berbagai tingkah laku. Dengan demikian objek ilmu
psikologi sangat luas. Karena luasnya objek yang dipelajari psikologi, maka
dalam perkembangannya ilmu psikologi dikelompokkan dalam beberapa bidang, yaitu
1.
Psikologi Perkembangan, yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku yang terdapat
pada tiap-tiap tahap perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupannya.
2.
Psikologi Pendidikan, yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam
situasi pendidikan.
3.
Psikologi Sosial, ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam berhubungan
dengan masyarakat sekitarnya.
4.
Psikologi Industri, ilmu yang mempelajari tingkah laku yang muncul dalam dunia
industri dan organisasi.
5.
Psikologi Klinis, ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia yang sehat dan tidak sehat, normal dan tidak normal,
dilihat dari aspek psikisnya.
B. Definisi Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik, mendidik berarti memelihara dan membentuk latihan.
Dalam kamus besar Bahasa Indoneia (1991) Pendidikan diartikan sebagai proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan
Poerbakawatja dan Harahap dalam Muhibbin Syah (2001) menyatakan
bahwa pendidikan merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu
diartikan sebagai kemampuan untuk
bertanggung jawab terhadap segala
perbuatannya.
Dari definisi-definisi tersebut
diatas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan
secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara
individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan.
C. Definisi Psikologi Pendidikan
Whiterington (1978) mendefinisikan
psikologi pendidikan sebagai studi sistematis tentang proses-proses dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
Sumadi Suryabrata (1984)
mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai pengetahuan psikologi mengenai anak
didik dalam situasi pendidikan.
Elliot
dkk.(1999) menyatakan bahwa psikologi pendidikan merupakan penerapan
teori-teori psikologi untuk mempelajari perkembangan, belajar, motivasi,
pengajaran dan permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan.
Dari berbagai definisi tersebut di
atas penulis menyimpulkan bahwa psikologi pendidikan ialah ilmu yang
mempelajari penerapan teori-teori psikologi dalam bidang pendidikan. Dalam
psikologi pendidikan dibahas berbagai tingkah laku yang muncul dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
D. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan
Pada dasarnya psikologi pendidikan
mempelajari seluruh tingkah laku manusia yang terlibat dalam proses pendidikan.
Manusia yang terlibat dalam proses pendidikan ini ialah guru dan siswa, maka
objek yang dibahas dalam psikologi pendidikan adalah tingkah laku siswa yang
berkaitan dengan proses belajar dan tingkah laku guru yang berkaitan dengan
proses pembelajaran. Sehingga objek utama yang dibahas dalam psikologi
pendidikan adalah masalah belajar dan pembelajaran.
Pendidikan
pada hakekatnya adalah suatu pelayanan yang diperuntukkan pada siswa, oleh
karena itu dalam psikologi pendidikan juga dibahas aspek-aspek psikis atau
gejala kejiwaan yang terdapat pada siswa terutama ketika terlibat dalam proses
belajar.
Buku ini
akan membahas tingkah laku yang muncul dalam proses pendidikan, yang
dikelompokan dalam pokok bahasan sebagai berikut:
1. Pengantar memahami
psikologi pendidikan
2. Gejala Jiwa
3. Masalah Belajar
4. Masalah
Pembelajaran
5. Pengukuran dan
Penilaian
6. Diagnostik
Kesulitan Belajar
7. Kesehatan Mental di
Sekolah.
Psikologi Pendidikan sebagai ilmu memberikan sumbangan terhadap
pendidilan secara teoritis maupun praktis, adapun sumbangan psikologi
pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tiap
tingkat perkembangan berbeda karakteristiknya. Setiap tingkat perkembangan
memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu. Sama lain.
Apabila seorang guru sudah memahami bahwa pada setiap tingkat perkembangan karakteristik anak itu berbeda, maka guru
dalam menyelesaikan tugas mendidik dan mengajar akan menyesuaikan diri terhadap
karakteristik anak didiknya. Dengan demikian pelajaran oleh guru kepada para
siswa akan berbeda di tiap-tiap tingkat perkembangan anak
2. Psikologi
pendidikan memberikan sumbangan berupa pemahaman secara alami aktivitas belajar
di ruang kelas. Psikologi pendidikan
memberikan bekal kepada guru
mengenai proses pembelajaran secara umum
di ruang kelas dan mengembangkan teon yang lebih luas lagi di ruang kelas.
Keberhasilan guru di dalam kelas disebabkan karena guru itu memahami atau
mengerti betul tentang karakteristik anak didiknya. Anak didik bukan benda tetapi merupakan objek yang
memiliki pikiran, perasaan dan kemauan. Oleh karena itu dalam kegiatan
pembelajaran siswa dipandang sebagai subjek bukan sebagai objek. Dengan
demikian pengetahuan tentang kondisi siswa di dalam kelas mutlak harus dipahami
oleh seorang guru.
3.
Psikologi pendidikan memberikan pemahaman mengenai perbedaan individual. Di dunia ini tidak ada
dua atau lebih individu yang sama. Demikian pula guru dalam tugasnya akan
menghadapi para siswa di dalam kelas dengan berbagai variasi. Dengan demikian
guru hendaknya memberikan pelayanan yang berbeda kepada peserta didik sesuai
dengan karakteristiknya.
4. Psikologi pendidikan juga memberikan
pemahaman tentang metode-metode mengajar yang efektif. Psikologi pendidikan
mamberikan pengetahuan tentang cara mengajar yang tepat, dan mengembangkan pola
mengajar dengan strategi-strategi baru. Dengan demikian seorang guru yang telah
memahami pengetahuan psikologi pendidikan akan memahami metode-metode mana yang
paling efektif dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik dan pengaiar.
5. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan
kepada guru sehingga mampu memahami problem anak didik dan memahami sebab-sebab
timbuInya problem. Masalah, sesungguhnya
berbeda-beda dalam pengatasannya tergantung kepada tingkat umur, latar belakang sosial ekonomi
dan budaya. Pada akhirnya dengan memahami problem anak didik ini guru dapat
membantu anak mengatasi problemnya.
6.
Dengan pengetahuan tentang kesehatan mental dalam psikologi pendidikan, guru
akan dapat memahami beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya mental
tidak sehat ataupun maladjusmen tsehingga pada akhirnya guru dapat
membantu memecahkan masalah yang dialami oleh para siswanya dan mampu
mempersiapkan para siswanya sehingga memiliki
mental yang sehat.
7. Penyusunan kurikulum hendaknya menggunakan
prinsip-prinsip psikologi.Prinsip ini menyatakan bahwa tiap-tiap tingkat umur
berbeda tingkat perkembangannya. Pada setiap tingkat perkembangan, materi yang
harus diberikan akan berbeda begitu pula teknik pengajarannya..
8.
Pengukuran tentang hasil belajar. Dengan pengetahuan tentang psikologi
pendidikan maka guru mampu mendalami hasil belajar siswa, metode proses
pembelajaran maupun performance para siswanya.
9.
Riset. Psikologi pendidikan menolong di dalam pengembangan alat-alat pengukur
berbagai variabel yang besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa-siswa. Guru
dapat mengontrol secara langsung dan meramalkan tingkah laku para siswanya
berdasarkan hasil riset tersebut.
10.Bimbingan
untuk anak-anak luar biasa. Psikologi pendidikan memberikan sumbangan terhadap
cara memberikan layanan kepada anak-anak luar biasa baik di atas normal maupun
di bawah normal. Pengetahuan psikologi pendidikan sangat diperlukan untuk
memberikan layanan kepada anak-anak yang genius maupun anak di bawah normal.
11.Pemahaman
tentang dinamika kelompok. Dalam psikologi pendidikan dikembangkan pula
pengetahuan tentang dinamika kelompok. Seorang guru harus mampu memahami
dinamika kelompok siswa di dalam kelas beserta kegiatannya secara total karena
hal tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan proses belajar
dan pembelajaran.
Disamping
sumbangan-sumbangan tersebut di atas, psikologi pendidikan memberikan sumbangan
terhadap praktik pendidikan antara lain:
1.
Problem Disiplin
Guru
tradisional dalam memecahkan problem disiplin
menggunakan hukuman badan. Orang sudah tahu bahwa hukuman badan adalah
tidak berperikemanusiaan dan akan menimbulkan reaksi keras dari orang tua
siswa. Dengan pengetahuan psikologi pendidikan sebenarnya ada banyak cara dalam
memecahkan masalah disiplin siswa, tidak harus dengan hukuman badan. Pendekatan yang manusiawi memberikan siswa
yang bermasalah kesempatan untuk berdialog dengan guru.
2. Menggunakan audio visual sebagai alat untuk
mencapai tujuan.
Dulu guru tidak pernah menggunakan alat
audio visual dalam proses pembelajaran. Psikologi pendidikan mengembangkan alat
berupa audio visual dalam proses belajar mengajar sehingga mempermudah proses
pembelajaran.
3. Jadwal pelajaran.
Untuk menyusun jadwal pelajaran
diperlukan pengetahuan psikologi pendidikan. Tingkat kesukaran mata pelajaran
berbeda-beda untuk setiap mata pelajaran. Agar seluruh materi pelajaran dapat
diterima dengan baik oleh siswa, perlu penyusunan jadwal pelajaran dengan
mempertimbangkan tingkat kesukarannya baik urutannya maupun waktunya. Misalnya
mata pelajaran matematika ditempatkan pada jam pertama agar dapat diterima
dengan baik oleh siswa, sedangkan mata pelajaran seni ditempatkan pada jam
terakhir untuk meningkatkan gairah belajar siswa yang sudah lelah oleh berbagai
materi pelajaran yang berat sebelumnya.
4. Administrasi sekolah dan kelas
Petugas administrasi dan guru harus
bekerjasama dengan baik sehingga masalah-masalah administrasi dapat diatasi
dengan penuh keterbukaan melalui diskusi antara guru dengan petugas
administrasi di sekolah
E. Rangkuman
1.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelaJani tingkah laku manusia, baik
sebagai individu maupun dalam berhubungan dengan lingkungannya. Tingkah laku
tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, yang disadari
maupun yang tidak disadari.
2.
Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dengan sengaja untuk
mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
3.
Psikologi pendidikan ialah ilmu yang mempelajari penerapan teori-teori
psikologi dalam bidang pendidikan. Dalam psikologi pendidikan dibahas berbagai
tingkah laku yang muncul dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
mengaiaran dan latihan.
4.
Buku ini akan membahas berbagai tingkah laku yang muncul dalam proses pendidikan,
yang dikelompokkan dalam pokok bahasan sebagai berikut : 1) pengantar memahami
psikologi pendidikan 2) gejala jiwa, 3). masalah belajar, 4). masalah
Pembelajaran, 5). pengukuran dan penilaian, 6). Diagnotis Kesulitan Belajar,
dan 7). Kesehatan Mental di Sekolah
5.
Psikologi pendidikan sebagai ilmu memberikan sumbangan dalam pemahaman tentang
perbedaan karakteristik tingkah laku siswa, kondisi siswa dalam kelas, memberi
pengetahuan tentang berbagai metode atau model dalam pembelajaran, problem yang
muncul pada siswa, kesehatan mental di sekolah, pertimbangan dalam penyusunan
kurikulum, penyusunan hasil belaiar, riset dalam bidang pendidikan, bimbingan pada anak-anak luar biasa, dan
dinamika kelompok. Secara praktis Psikologi Pendidikan memberi sumbangan dalam
praktik penanaman aturan sekolah atau disiplin, penggunaan media atau alat-alat
belajar, pembuatan jadwal pelajaran dan penanganan administrasi dalam kelas dan
sekolah.
F. Latihan
1. Apa yang di
maksud dengan Psikologi ?
2. Apa yang di maksud dengan Pendidikan ?
3. Apa yang di maksud dengan Psikologi
Pendidikan ?
4. Jelaskan ruang lingkup yang dipelajari dalam
Psikologi Pendidikan !
5. Jelaskan sumbangan Psikologi Pendidikan dalam
pendidikan baik yang bersifat teoritis maupun praktis.
G. Daftar Pustaka
Chauhan
S.S (1978). Advanced Education Psychology. New Delhi. Vikas Publishing
Horse PUT. Ltd.
Dakir. 1993. Dasar-Dasar
Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.]
Elliot
dkk 1999. Effective Teaching Educational. Singapure : Mc Graw Hill International
Editions.
Mahmud,
D. 1974. Psikologi : terjemahan dari Spercing. Yogyakarta Institut Press
IMP Yogyakarta
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, S. 1984. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rajawall
Tim
Penyusun Kamus Pusatsat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Witherington,
H.C. 1978. Educational Psychology, terjemahan M. Buchori. Jakarta :
Aksara Baru.
BAB II
GEJALA JIWA DAN KERAGAMAN INDIVIDU
Tujuan Mempelajari
Pokok Bahasan Ini :
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat
mendiskripsikan dan menjelaskan : gejala-gejala jiwa dan keragaman individu
pada manusia, pengaruh faktor heriditer dan lingkungan terhadap belajar dan
pembelajaran, pengaruh faktor tipologi terhadap kepribadian manusia
A. Gejala Jiwa
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, psikologi merupakan ilmu yang mempelajari proses mental dan
perilaku pada manusia. Perilaku manusia akan lebih mudah dipahami jika kita
juga memahami proses mental yang mendasari perilaku tersebut. Demikian juga
kita akan lebih mudah memahami perilaku siswa jika kita memahami proses mental
yang mendasari perilaku siswa tersebut.Mengingat pentingnya pemahaman tentang
proses mental tersebut, maka dalam bab ini akan dijelaskan beberapa akfivitas
atau proses mental yang umum terjadi pada manusia, khususnya yang berkaitan
dengan proses belajar mengajar. Proses mental juga sering disebut dengan gejala
jiwa.
1.
Pengamatan
Pengamatan merupakan usaha manusia
untuk mengenal dunia nyata, baik mengenai dirinya sendiri maupun dunia sekitar
di mana dia berada, dengan cara melihatnya, mendengarnya, membaunya, merabanya
atau mengecapnya. Cara-cara mengenal objek tersebut disebut dengan mengamati,
sedangkan melihat, mendengar dan seterusnya itu merupakan modalitas pengamatan. Dengan kata lain, modalitas pengamatan
dibedakan berdasarkan panca indera yang kita gunakan untuk mengamati.
Dunia pengamatan biasanya
dilukiskan menurut aspek pengaturan tertentu, agar subjek dapat melakukan
orientasi secara baik. Aspek pengaturan tersebut adalah:
a.
Pengaturan menurut sudut
pandang ruang. Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan dilukiskan dalam
pengertian-pengertian: atas-bawah, kanan-kiri, jauh-dekat, tinggi-rendah, dan
sebagainya. Misalnya Nela belajar, di mana?
b.
Pengaturan menurut sudut
pandang waktu. Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan dilukiskan dalam
pengertian-pengertian: masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang serta
berbagai variasi waktu. Misalnya ada pengumuman akan ada ujian, kapan?
c.
Pengaturan menurut sudut
pandang Gestalt. Menurut sudut pandang ini, dunia pengamatan atau objek yang
kita amati memiliki arti jika dipandang sebagai
kesatuan yang utuh. Misalnya melihat sekolah, harus dilihat sebagai
sebuah bangunan yang utuh, bukan sekedar kumpulan dari batubata, semen, genteng
dan sebagainya.
d.
Pegaturan menurut sudut pandang
arti. Menurut sudut pandang ini, objek yang kita amati dilukiskan
berdasarkan artinya bagi kita. Jika
dilihat secara fisik, bangunan sekolah dengan kantor kecamatan atau rumah sakit
mungkin relatif sama, tapi memiliki arti yang sangat berbeda (Suryabrata, 1990,
hal 19-20).
2.
Tanggapan
Menurut
Bigot (dalam Suryabrata, 1990), tanggapan didefinisikan sebagai bayangan yang
tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu
objek. Karena itu tanggapan juga sering
disebut sebagai bayangan. Dalam proses pengamatan terjadilah gambaran dalam
jiwa seseorang. Ternyata gambaran sebagai hasil proses pengamatan tidak
langsung hilang setelah pengamatan selesai. Manusia mempunyai
kemampuan-kemampuan lain di samping kemampuan untuk mengadakan persepsi, yaitu
kemampuan membayangkan atau menanggap kembali hal-hal yang telah diamatinya itu.
Kemampuan tersebut juga menunjukkan bahwa gambaran yang terjadi pada saat
pengamatan tidak hilang begitu saja, tetapi dapat disimpan dalam jiwa individu
tersebut.
Proses
menanggap atau membayangkan kembali merupakan representasi, yaitu membayangkan kembali atau menimbulkan kembali
gambaran yang ada pada saat pengamatan. Baik pada pengamatan maupun dalam
tanggapan, keduanya dapat membentuk gambaran, tetapi pada umumnya gambaran yang
ada pada pengamatan lebih jelas dan
lebih lengkap dibandingkan gambaran pada tanggapan.
Untuk
memudahkan kita dalam memahami perbedaan antara pengamatan dan tanggapan,
berikut ini akan disajikan perbandingan antara pengamatan dan tanggapan:
Tabel 1. Perbedaan Antara Pengamatan dan Tanggapan
Pengamatan
|
Tanggapan
|
1.
Cara tersedianya objek
disebut presentasi
2.
Objek yang sesungguhnya ada
3.
Objek ada bagi setiap orang
4.
Terikat pada tempat, keadaan
dan waktu
|
1.
Cara tersedianya objek
disebut representasi
2.
Objek yang sesungguhnya tidak
ada.
3.
Objek hanya ada pada dan bagi
subjek yang menanggap
4.
Terlepas dari tempat, keadaan
dan waktu
|
Pengamatan
maupun tanggapan merupakan bagian dari proses perolehan pengertian dengan
melalui urutan sebagai berikut:
1)
Pengamatan
2)
Bayangan pengiring
3)
Bayangan eidetik
4)
Tanggapan
5)
Pengertian
Bayangan pengiring adalah
merupakan bayangan yang muncul setelah
kita melihat suatu warna (Suryabrata, 1990). Bayangan pengiring pada
umumnya hanya berjalan sebentar saja, yang segera timbul mengiringi proses
pengamatan setelah pengamatan itu berakhir. Bayangan pengiring ada dua macam,
yaitu:
(1)
Bayangan pengiring positif,
yaitu bayangan pengiring yang sama dengan warna objeknya
(2)
Bayangan pengiring negatif,
yaitu bayangan pengiring yang tidak sama dengan warna objeknya, melainkan
seperti warna komplemen dari objek tersebut.
Bayangan eidetik adalah bayangan yang
terang dan jelas seperti menghadapi objeknya sendiri (Walgito,1997). Apabila
orang tidak dapat membedakan pengamatan dengan bayangan, maka orang akan
mengalami halusinasi. Pada bayangan eidetik sekalipun bayangan tersebut sangat
jelas seperti pada pengamatan, namun individu masih menyadari bahwa hal
tersebut hanyalah merupakan bayangan saja. Jadi individu sadar bahwa stimulus
pada waktu itu tidak ada, sekalipun bayangannya sangat jelas. Hal tersebut
tidak terdapat pada orang yang menderita halusinasi, karena dia tidak menyadari
bahwa itu hanya bayangan saja.
3.
Fantasi
Fantasi didefinisikan sebagai
kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru
dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang sudah ada, dan tanggapan yang baru
tersebut tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada (Suryabrata,
1990; Walgito, 1997).
Fantasi dapat
berlangsung dengan disadari maupun tidak disadari. Secara disadari apabila
individu betul-betul menyadari akan fantasinya, sedangkan secara tidak disadari
apabila individu tidak secara sadar telah dituntun oleh fantasinya. Fantasi
yang disadari sering dibedakan antara fantasi menciptakan dan fantasi yang
dipimpin.
Fantasi yang
menciptakan merupakan jenis fantasi yang menciptakan tanggapan-tanggapan yang
benar-benar baru. Misalnya seorang siswa yang membuat sebuah karangan
berdasarkan fantasinya. Sementara itu fantasi yang dipimpin merupakan jenis
fantasi yang dituntun atau mengikuti gambaran orang lain. Misalnya seorang murid
yang membaca cerita kemudian membayangkan tempat-tempat baru berdasarkan cerita yang dibacanya.
Berdasarkan caranya
orang berfantasi, fantasi dibedakan menjadi tiga, yaitu fantasi dengan
mengabstraksikan, mendeterminasikan dan mengombinasikan. Fantasi bersifat
mengabstraksikan, jika orang berfantasi dengan mengabstraksikan beberapa
bagian, sehingga ada bagian-bagian yang dihilangkan. Misalnya bagi anak yang
belum pernah melihat padang pasir, maka untuk menjelaskannya dipakai bayangan
hasil pengamatan melihat lapangan. Dalam berfantasi maka anak tersebut diminta
membayangkan lapangan tanpa ada rumputnya. Fantasi bersifat mendeterminasikan,
jika dalam berfantasi itu sudah ada semacam bayangan tertentu, lalu diisi
dengan gambaran lain. misalnya bayangan danau yang diperbesar menghasilkan
gambaran tentang lautan. Fantasi bersifat mengombinasikan jika menggabungkan
bagian dari tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain. Misalnya berfantasi
tentang ikan duyung dengan menggabungkan kepala seorang wanita dengan badan
seekor ikan.
4. Perhatian
Perhatian
didefinisikan sebagai pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas
individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito, 1997).
Jika individu sedang memperhatikan pelajaran yang diterangkan guru, berarti
seluruh aktifitas individu dicurahkan atau dikonsentrasikan pada pelajaran
tersebut. Dengan demikian, apa yang diperhatikan oleh individu akan disadari
dan betul-betul jelas bagi individu tersebut. Perhatian dan kesadaran memiliki
korelasi yang positif, sehingga perhatian juga mengandung pengertian banyak
sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktifitas yang dilakukan (Suryabrata, 1990).
Terdapat
bermacam-macam penggolongan perhatian, yaitu:
1)
Atas dasar intensitasnya, yaitu
banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktifitas, maka perhatian
dibedakan menjadi:
a.
Perhatian intensif, yaitu
perhatian yang menyertakan banyak aspek kesadaran
b.
Perhatian tidak intensif, yaitu
perhatian yang tidak banyak menyertakan aspek kesadaran
Dengan demikian semakin banyak kesadaran yang
menyertai suatu aktifitas, maka makin intensiflah perhatiannya.
2)
Atas dasar luasnya objek yang
dikenai perhatian:
a.
Perhatian terpusat, yaitu
perhatian yang tertuju pada lingkup objek yang terbatas
b.
Perhatian terpencar, yaitu
perhatian yang tertuju pada lingkup objek yang luas atau tertuju pada banyak
objek sekaligus
3)
Atas dasar cara timbulnya,
perhatian dibedakan menjadi:
a.
Perhatian spontan, yaitu
perhatian yang timbul dengan sendirinya, atau timbul secara spontan. Perhatian
ini timbul tanpa sengaja atau tanpa usaha.
b.
Perhatian refleksif, atau tidak
spontan, yaitu perhatian yang dimunculkan dengan sengaja, karena itu harus ada
kemauan untuk menimbulkannya.
Secara
praktis, yang penting untuk diperhatikan adalah mengetahui hal-hal yang menarik
perhatian. Hal-hal yang menarik perhatian dapat dipandang dari dua segi, yaitu:
1)
Dari segi objek
Dipandang dari segi objek, hal-hal yang
menarik perhatian adalah hal-hal yang keluar dari konteksnya, atau lain dari
pada yang lain.
2)
Dari segi subjek
Dari sudut pandang ini, hal yang menarik
perhatian adalah hal-hal yang berkaitan dengan subjek itu sendiri, misalnya
yang terkait dengan kebutuhan, kegemaran, pekerjaan, atau sejarah hidup subjek.
5.
Ingatan
Segala macam
belajar melibatkan ingatan. Jika individu tidak dapat mengingat apapun mengenai
pengalamannya, dia tidak akan dapat belajar apa-apa. Pada umumnya para ahli
memandang ingatan sebagai hubungan pengalaman dengan masa lampau (Walgito,
1997). Dengan adanya kemampuan untuk mengingat, manusia mampu untuk menyimpan
dan menimbulkan kembali apa yang telah pernah dialaminya. Walaupun begitu,
tidak semua yang pernah dialami oleh manusia akan dapat ditimbulkan kembali.
Dengan kata lain, kadang-kadang terdapat hal-hal yang tidak dapat diingat kembali.
Para ahli
membedakan tiga tahapan dalam ingatan, yaitu memasukkan pesan dalam ingatan (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat kembali (retrieval) (Atkinson, dkk,1997). Karena
itu, maka biasanya ingatan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasukkan,
menyimpan dan mengingat kembali pesan-pesan.
Memasukkan dalam ingatan
Mempertahankan dalam ingatan
Memperoleh ingatan
Gambar 2-1. Tiga Tahapan Ingatan
Fungsi memasukkan
dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu:
1)
Memasukkan dengan cara tidak
disengaja. Dengan cara ini apa yang dialami, dengan tidak disengaja dimasukkan
dalam ingatan.
2)
Memasukkan dengan cara sengaja.
Dengan cara ini individu sengaja memasukkan pengalaman-pengalaman,
pengetahuan-pengetahuan ke dalam ingatannya.
Berdasarkan
berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, ternyata terdapat perbedaan
kemampuan individu untuk memasukkan pesan-pesan ke dalam ingatan. Ada orang
yang dengan cepat, namun ada juga yang lambat dalam memasukkan pesan. Demikian
juga halnya dengan materi yang dimasukkan, ada yang mampu untuk memasukkan
banyak pesan, namun ada juga yang hanya mampu memasukkan sedikit pesan.
Dalam tahapan
penyimpanan, individu mempertahankan dan menyimpan pesan dalam ingatan selama
beberapa waktu sampai saatnya ditimbulkan kembali. Karena itu masalah yang
timbul dalam hal ini adalah bagaimana agar pesan yang telah dimasukkan tersebut
dapat disimpan dengan baik, sehingga pada suatu waktu dapat ditimbulkan kembali
dengan mudah bila dibutuhkan.
Tahapan yang
ketiga, yaitu mengingat kembali merupakan kemampuan untuk menimbulkan kembali
hal-hal yang disimpan dalam ingatan.
Kemampuan untuk menimbulkan kembali ini dibedakan menjadi dua, yaitu
mengingat kembali (to recall) dan
mengenal kembali (to recognize). Pada
mengingat kembali, individu menimbulkan kembali apa yang diingat tanpa adanya
stimulus, sedangkan pada mengenal kembali orang menimbulkan kembali apa yang
diingat dengan kehadiran objeknya.
Dalam membahas
ingatan, maka orang tidak bisa meniadakan kelupaan. Karena apa yang diingat
merupakan apa yang tidak dilupakan, dan apa yang dilupakan adalah apa yang
tidak diingat. Sehubungan dengan kelupaan tersebut, terdapat dua teori yang
dapat menjelaskan terjadinya kelupaan:
1)
Teori atropi
Menurut teori ini kelupaan terjadi karena
jejak-jejak ingatan atau memory traces
telah lama tidak ditimbulkan kembali, sehingga mengendap dan pada akhirnya
orang lupa.
2)
Teori interferensi
Menurut teori ini kelupaan terjadi karena
jejak-jejak ingatan atau memory traces
saling bercampur aduk, mengganggu satu sama lain.
6.
Berpikir
Keberhasilan terbesar dari spesies manusia adalah
kemampuannya untuk mempunyai pemikiran yang kompleks. Berpikir meliputi
sejumlah besar kegiatan mental. Individu berpikir ketika sedang merencanakan
liburan, menulis surat, memutuskan bahan makanan yang dibutuhkan, atau ketika
sedang cemas memikirkan teman yang sakit. Berpikir membutuhkan kemampuan untuk
membayangkan atau menggambarkan benda dan peristiwa yang secara fisik tidak
ada.
Berpikir dapat
didefinisikan sebagai suatu proses yang menghasilkan representasi mental yang
baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks, antara
proses-proses mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi dan
pemecahan masalah (Solso, 1988). Misalnya pada waktu seseorang membaca buku,
informasi diterima melalui berbagai tahapan mulai dari proses sensori sampai
dengan memori. Informasi ini kemudian ditransformasikan sehingga menghasilkan
apa yang disebut intisari sebagai informasi baru yang berarti pula sebagai
pengetahuan baru bagi seseorang.
Proses berpikir
secara normal menurut Mayer (dalam Solso, 1988) meliputi tiga komponen pokok
sebagai berikut:
1)
Berpikir adalah aktifitas
kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran seseorang, tidak tampak,
tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang nampak. Misalnya pemain
catur meperlihatkan proses berpikirnya melalui gerakan-gerakan atau
langkah-langkah yang dilakukan.
2)
Berpikir merupakan suatu proses
yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan di dalam sistem kognitif.
Pengetahuan yang pernah dimiliki (tersimpan dalam ingatan) digabungkan dengan
informasi sekarang sehingga mengubah pengetahuan seseorang mengenai situasi
yang sedang dihadapi.
3)
Berpikir diarahkan dan
menghasilkan perbuatan pemecahan masalah atau diarahkan menuju pada pemecahan
masalah. Seperti seorang pemain catur, setiap langkah yang dilakukan diarahkan
untuk memenangkan permainan, meski tidak semua langka yang dilakukan berhasil,
namun secara umum dalam pikirannya semua langkah diarahkan pada suatu
pemecahan.
Terdapat dua pandangan yang berbeda
dalam kaitan antara proses berpikir dan pemecahan masalah. Pertama, sebagian orang menganggap bahwa berpikir merupakan
aktifitas mental yang rutin dalam diri seseorang seperti halnya bernafas, dan
peredaran darah. Jadi, berpikir dianggap merupakan aktifitas syaraf otak yang
tidak harus berhubungan dengan masalah (Bugalski, 1983). Berpikir tidak hanya
terjadi pada saat orang menghadapi persoalan. Misalnya, orang bisa makan sambil
berpikir. Ini dapat terjadi baik disadari maupun tidak disadari. Kedua, sebagian berpendapat bahwa
berpikir itu selalu berhubungan dengan suatu persoalan yang akan dicari jalan
keluarnya. Kecenderungan terakhir ini adalah pandangan kedua, sebab berpikir
itu muncul karena ada sesuatu yang dipikirkan, ada keinginan terhadap kondisi
tertentu, ketidakpuasan, semuanya terjadi dalam kehidupan. Kemungkinan letak perbedaannya adalah pada
pengertian masalah. Jika masalah dianggap sebagai sesuatu yang datang dari
lingkungan yang tidak terelakkan dan perlu dicari pemecahan, maka pandangan
pertama bisa dibenarkan karena pada saat itu orang akan berpikir. Sebaliknya,
jika masalah dipahami sebagai fenomena yang bisa muncul dari dalam diri
seseorang yang berarti mempermasalahkan sesuatu kemudian berusaha mencari jalan
keluar, maka pandangan kedua bisa dibenarkan karena pada saat ini orang
melakukan aktifitas berpikir juga.
7.
Inteligensi
Inteligensi merupakan masalah
yang banyak dibahas orang sejak lama. Walaupun ada pergeseran pandangan dalam
masalah ini, tetapi pada umumnya orang berpendapat bahwa inteligensi merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan belajar seseorang.
Inteligensi juga
sering disebut dengan kecerdasan. Istilah inteligensi berasal dari kata latin
“intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.
Definisi inteligensi sendiri cukup
beragam. Salah satu definisi dinyatakan oleh Stern yang menyebutkan bahwa inteligensi adalah daya menyesuaikan
diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut
tujuannya (Walgito, 1997). Sementara itu GD Stoddard (dalam Crow & Crow,
1984) menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan yang mengendalikan
aktifitas-aktifitas dengan ciri-ciri
sukar, kompleks, abstrak, tepat, bertujuan, bernilai sosial dan menampakkan
adanya keaslian, serta kemampuan untuk mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti
itu dalam kondisi yang memerlukan energi dan berlawanan dengan
kekuatan-kekuatan emosional. Sedangkan Terman (dalam Walgito, 1997)
mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan berpikir abstrak.
Dalam teori-teori
tentang inteligensi, banyak para ahli yang menyatakan adanya faktor-faktor
tertentu dalam inteligensi. Namun mengenai faktor-faktor apa yang terdapat
dalam inteligensi, sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para ahli
itu sendiri.
Menurut Spearman,
inteligensi mengandung 2 faktor:
1)
General ability (faktor G)
Merupakan faktor yang mendasari semua
tingkah laku orang. Jadi dalam setiap tingkah laku terdapat faktor g yang sama.
2)
Special ability (faktor S)
Merupakan faktor yang berfungsi pada tingkah
laku khusus. Jadi dalam tingkah laku yang berbeda akan terdapat faktor s yang
berbeda, namun faktor g-nya sama.
Teori faktor yang
lain dikemukakan oleh Sternberg, yang mengembangkan triarchic theory of intelligence (Elliott, dkk, 1999). Menurut
Sternberg terdapat 3 elemen dalam inteligensi:
1)
Componential. Merupakan kemampuan untuk
berpikir abstrak, memproses informasi, serta menentukan apa yang perlu
dilakukan
2)
Experiental. Merupakan kemampuan belajar
dari pengalaman, sehingga dapat digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas
familiar secara efisien.
3)
Contextual. Merupakan kemampuan individu
untuk beradaptasi dengan lingkungan dalam memecahkan masalah pada situasi
khusus. Sering disebut sebagai inteligensi praktis.
Sementara itu Howard Gardner
memunculkan teori multiple intelligences
(Elliott, 1999). Gardner menyatakan bahwa kemampuan kognitif manusia
digambarkan sebagai sekumpulan kemampuan, bakat atau keterampilan mental yang
disebut sebagai inteligensi. Setiap manusia memiliki tiap kemampuan tersebut,
hanya berbeda tingkat serta kombinasinya. Menurut Gardner terdapat 7 macam
kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan
logika-matematika, kecerdasan pandang ruang, kecerdasan gerakan badan,
kecerdasan interpersonal serta kecerdasan intrapersonal.
Walaupun ada
perbedaan konsepsi mengenai inteligensi, namun pada umumnya para ahli sepakat
bahwa masing-masing individu memiliki inteligensi yang berbeda-beda. Karena itu
antara individu yang satu dengan yang lain juga tidak sama kemampuannya dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi. Untuk mengetahui perbedaan inteligensi
tersebut diperlukan sebuah tes
inteligensi. Orang yang pertama kali menciptakan tes inteligensi adalah Binet,
yaitu pada tahun 1905, yang kemudian mendapatkan revisi baik dari Binet sendiri
maupun dari ahli lain. Walaupun tes inteligensi sangat berguna, khususnya dalam
bidang pendidikan, namun hendaknya penggunaan tes inteligensi beserta hasilnya
dilakukan dengan hati-hati. Karena tes inteligensi bukan hal yang serba
menentukan, maka sebaiknya jangan dipakai sebagai satu-satunya pedoman,
melainkan dipergunakan dalam kombinasi dengan instrumen pendidikan yang lain.
Adapun klasifikasi
hasil tes inteligensi (IQ) berdasarkan Wechsler
Intelligence for Children (WISC) dan Wechsler
Adult Intelligence Scale (WAIS) adalah:
Very superior 130 +
Superior 120 – 129
Bright normal 110 – 119
Average 90 – 109
Dull normal 80 – 89
Borderline 70 – 79
Mental defective 69 ke bawah
Mental defective
ini masih diklasifikasikan dengan klasifikasi sebagai berikut
Klasifikasi mental defektif
Tipe
|
Range IQ
|
Range MA
|
Range SA
|
keterangan
|
Moron
|
50 - 69
|
8 –12 tahun
|
10-18 tahun
|
Educable retarded
|
Imbecile
|
20 - 49
|
3 –7 tahun
|
4 – 9 tahun
|
Trainable retarded
|
Idiot
|
-19
|
-3 tahun
|
- 4 tahun
|
Institutional retarded
|
B. Keragaman Individu
Faktor-faktor
apakah yang menentukan perbedaan-perbedaan belajar dan pembelajaran siswa?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan dari
debat psikologi klasik yang sukar terjawab hingga kini. Debat yang
berkepanjangan dan tidak pernah selesai dalam sejarah psikologi khususnya
psikologi pendidikan, adalah menjawab pertanyaan faktor apakah yang berpengaruh
(dominan) dalam menentukan karakteristik manusia: faktor herediter, ataukah
faktor lingkungan? Masalah ini biasanya lebih dikenal dengan kontroversi antara
dengan nature dan nurture.
Nature merupakan sifat-sifat vang berkaitan dengan herediter, dan nurture
merupakan sifat-sifat yang berkaitan dengan lingkungan.
Sesungguhnya
kedua faktor itu amat diperlukan dalam perkembangan manusia. Oleh karena itu,
pertanyaan yang mencari faktor mana yang paling dominan tampaknya
tidak terlalu berarti. Pertanyaan ini sama dengan mempertanyakan sisi bujur
sangkar yang mana yang paling besar sumbangannya terhadap luas bujur sangkar?
Tanpa faktor herediter, faktor-faktor seperti makanan, udara, pendidikan, atau
faktor- faktor lingkungan lainnya dengan sendirinya juga tidak akan
menghasilkan perubahan. Sebaliknya, tanpa faktor lingkungan, faktor heriditer
tentu saja akan lumpuh.
Pertanyaan
yang lebih sesuai sebetulnya adalah: bagaimana. bobot relatif
perbedaan-perbedaan dalam faktor heriditer dan
factor-faktor lingkungan dalam menghasilkan berbagai perbedaan
karaktenstik manusia, khususnya terhadap perbedaan-perbedaan karakteristik
belajar siswa? Sebagai contoh, variasi pada warna mata, bobot pengaruhnya lebih
banyak ditentukan oleh faktor heriditer, sedangkan variasi bahasa, seperti yang
dijelaskan terdahulu, faktor lingkungan jelas lebih dominan.
1. Pandangan Kaum
Hereditarian
Kaum
hereditarian yang amat mengagumi faktor nature
berpendapat bahwa seluruh sifat-sifat psikologis manusia itu secara turun
temurun dipindahkan langsung melalui gena-gena yang dibawa dari satu generasi
ke generasi lainnya. Perilaku manusia, termasuk kemampuan, bakat, dan prestasi
belajarnya ditentukan sebagian besar, bahkan seluruhnya oleh gena-gena ini.
Lingkungan amat kecil peranannya. Bila ayah seorang anak itu adalah seorang
pencuri domba, maka anak itu diragukan lagi akan menjadi pencuri domba pula.
Bila IQ seorang ibu 90, maka IQ anaknya akan berada disekitar 90 pula.
Diramalkan dengan IQ yang hanya 90 itu, anak ini tidak akan mungkin dapat
belajar dalam jurusan-jurusan yang sulit, seperti kedokteran. Di kalangan kaum
herediterian agak umum adanya pendapat, bahwa berdasarkan pengukuran terhadap
intelegensi, sebesar 80% variansi intelegensi itu ditentukan oleh gena-gena,
hanya sekitar 20% karena pengaruh lingkungan.
Gena-gena
adalah obyek studinya llmu Genetika. Ilmu ini dikembangkan berdasarkan pada
studi herediter yang menjelaskan bahwa secara biologis proses pemindahan
sifat-sifat dasar atau karakteristik orang tua pada turunannya. llmu genetika
menggunakan gena sebagai unit fundamental dalam analisisnya. Gena adalah
molekul pembentuk kehidupan, suatu partikel yang amat terkecil yang membawa
karakteristik-karakteristik turunan. Didalam gena terdapat gen, yaitu unsur sel
plasma yang mengendalikan penerusan ciri-ciri keturunan. Diperkirakan jumlah
keseluruhan gena dalam diri setiap manusia atau. dalam setiap human genome,
adalah sekitar lima sampai sepuluh juta buah. Setiap gena terdiri dari sejumlah
besar molekul organis, dan terdapat di dalam kromosom. Kromosom yang bentuknya
agak memanjang itu berada dalam sel tubuh manusia dengan cara
berpasang-pasangan, rata-rata dua puluh tiga pasang dalam setiap sel. Sel-sel
asal, yaitu sel sperma dari ayah dan sel telur dari ibu, hanya membawa dua
puluh tiga kromosom individual. Pada saat awal terbentukaya konsepsi manusia,
setiap orang tua memberikan sumbangan genetik (sifat-sifat dasar) pada
gena-gena tersebut.
Henry Goddard
(1912), meneliti bagaimana besarnya pengaruh bibit unggul dan bibit jelek
secara turun temurun dalam keluarga yang disebutnya keluarga Kallikak. Data dikumpulkan sedikit demi
sedikit dari buku-buku, koran, interview, dan lain-lain yang merupakan sumber
tentang keturunan anak cucu Martin Kallikak (nama samaran). Martin Kallikak,
adalah salah seorang serdadu perang revolusi Amerika. Melalui studi penelusuran
terhadap 496 keturunan Martin Kallikak dari perkawinan dengan seorang wanita
terhormat dan dilihat sebagai bibit unggul (dari kelompok Quakeress,
perkumpulan orang Kristen yang anti perang) ditemukan jalur keturunan Kalikkak
yang umumnya menjadi orang baik-baik dan terhormat, seperti menjadi dokter,
ahli hukum (pengacara), pimpinan perusahaan besar, dan lain sebagainya.
Terdapat hanya dua orang dari hampir 500 orang keturunan Kallikak yang
inteligensinya di bawah rata-rata.
Goddard juga melakukan studi
penelusuran terhadap 480 orang anak cucu keturunan Martin Kallikkak dari hasil
kencan gelapnya (istri tidak sah) dengan scorang wanita lemah ingatan (cacat
mental) yang bekerja pada sebuah bar penjual minuman keras. Ini adalah
"bibit jelek atau inferior genetik dari keturunan Martin Kallikak. Dari
penelusuran ini ditemukan bahwa hampir seluruh jalur keturunan bibit jelek ini
melahirkan bentuk manusia-manusia yang rendah kualitasnya dengan intelgensi
dibawah rata-rata, seperti peminum
alkohol, pelaku prostitusi, pembunuh, dan lain sebagainya. Hanya, 46 orang
diantaranya yang memiliki inteligensi agak mendekati normal.
2. Pandangan
Kaum Environmentalis.
Lain lagi
pandangan dari para pakar yang menganut paham dominasi lingkungan, atau disebut
environmentalists. .Paham ini menentang paham herediterian,
termasuk penemuan Goddard. Pandangan enviromnentalis didasarkan pada
paham yang dikemukakan oleh filosof Inggris John Locke (1691), bahwa pada
awalnya. jiwa dan kebidupan mental itu bersih dan kosong, pengalamanlah yang
membentuk dan mengukirnya. Bayi adalah segumpal tanah yang bersih seperti lilin
yang dapat dicetak, dibentuk dan diukir oleh seniman utamanya, yaitu
lingkungan.
John
B.Watson, salah seorang tokoh penganut paham lingkungan, dan tokoh pemula dari
aliran perilaku atau behaviorist di Amerika, berkeyakinan, bahwa manusia
itu dibentuk, bukan dilahirkan. Seorang bayi dapat dibentuk menjadi apa saja
seperti menjadi petani, polisi, dokter, atau menjadi pencuri, penembak, peminum
melalui teknik-teknik mengkondisikan anak dengan berbagai rangsangan atau
stimulasi. Teori ini dujinya dengan percobaan terhadap Albert, seorang bayi
berumur sembilan bulan.Rasa takut pada diri Albert dibentuk dengan berkali-kali
mendekatkan seekor tikus putih (stimulans) di dekat kepala Albert.
Pertama tikus putih diletakkan dekat kepala Albert, Albert tidak memperhatikan
reaksi takut. Tetapi setelah beberapa kali kehadiran tikus putih disertai
dengan bunyi suara palu (stimulans berkondisi), Albert menunjukkan rasa
takut. Kemudian bila hanya diberi suara palu saja yaitu stimulans tanpa
kondisi, reaksi takut tetap diperlihatkan oleh Albert. Watson menyimpulkan,
Albert telah belajar dengan jalan menghubungkan (mengasosiasikan) tikus dengan
bunyi yang gaduh, atau mengasosiasikan antara stimulans yang berkondisi dengan
stimulans yang tak berkondisi. Oleh karena itu Watson dengan rasa bangga
melontarkan ucapan bombastisnya: "Beri aku bayi selanjutnya terserah dapat
dibentuk mau menjadi apa saja!"
Reaksi
terhadap percobaan dan penemuan Watson cukup ramai, terutama dari kalangan kaum
ibu-ibu Amerika, mereka tidak mau lagi menyerahkan anak mereka kepada Watson
karena takut dirusak menjadi anak penakut. Mereka melihat aliran ini tidak
humanistik dalam memandang perilaku manusia maupun masyarakat. Tetapi dewasa
ini pengaruh aliran ini cukup besar terutama dalam hal cara merumuskan tujuan
perilaku yang ingin dicapai melalui belajar. Tujuan dirumuskan sampai sangat
detail, atau sampai ke unsur-unsur yang kecil, yang amat kosmik. Salah seorang
tokoh aliran perilaku dewasa ini adalah B.F. Skinnner, yang berkeyakinan bahwa
pengaruh buku (sebagai lingkungan ) yang ditulisnya terhadap anak dan cucunya,
jauh lebih besar dari gena (herediter) yang ada pada dirinya. Dari hasil
eksperimen Skinner dengan tikus dan burung merpati lahir empat hukum dasar yang
telah amat penting bagi teori pendidikan yang banyak digunakan dewasa ini,
yaitu (1) ganjaran atau positive reinforcement (2) Ganjaran negatif' (3)
tanpa ganjaran, dan (4) hukuman.
3. Bukti-bukti
dari hasil penelitian.
Perbedaan-perbedaan IQ anak, adalah
fungsi dan perbedaan-perbedaan dalam faktor hereditas dan lingkungan. Banyak
penelitian dilakukan para ahli dalam hal ini terutama terhadap pasangan kembar
(kembar siam, kembar sempurna) dengan menggunakan statistik korelasi. Korelasi
(hubungan) antara IQ anak cenderung mengikuti kesamaan-kesamaan dalarn faktor
genetik dan lingkungan. Angka koefisien korelasi cenderung menurun, bila
kesamaan dalam faktor genetik dan lingkungan semakin berkurang. Untuk anak
kembar yang tinggal dalam lingkungan
yang sama angka koefisien (simbol r) cukup tinggi, yaitu r = 0,87.
Studi
terhadap orang tua angkat memberikan banyak informasi tentang pengaruh relatif
hereditas dan lingkungan terhadap inteligensi anak. Bagaimana status
intelegensi anak-anak angkat yang diadopsi sejak bayi, apakah dipengaruhi oleh
orang tua angkat (lingkungan), atau oleh orang tua asli (hereditas) ? Bila
lingkungan yang menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar, maka seharusnya
terdapat korelasi antara IQ anak dan IQ orang tua angkat. Sebaliknya, bila
faktor hereditas yang menyebabkan perbedaan-perbedaan, seharusnya terdapat
korelasi yang cukup tinggi antara IQ anak dan IQ orang tua asli. Kesimpulan
yang ditemukan antara lain korelasi anak dengan pendidikan ibu angkat dan
pendidikan ayah angkat, kedua-duanya menunjukkan angka nol. Artinya, tidak terdapat
hubungan sama sekali, pendidikan orang tua angkat tidak mempengaruhi
inteligensi anak angkat mereka. Tetapi korelasi antara IQ anak dengan IQ dan
pendidikan orang tua masih cukup tinggi, terletak antara 0,32 dan 0,44.
Sekalipun ada penelitian terdahulu, terhadap 312 anak angkat, menyimpulkan,
nilai korelasi hanya 0.13 antara IQ anak angkat dengan IQ ibu masih mereka.
Temyata gambaran yang betul-betul sempurna memang sukar ditemukan.
Studi
terhadap anak kembar yang hidupnya dalam keluarga terpisah dan lingkungan yang
berbeda-beda, dilakukan dengan mengkorelasikan antara IQ yang berbeda-beda
dengan lingkungan yang berbeda-beda. Laporan studi Newman dkk (1937), dan Burt
(1966), menunjukkan terdapat korelasi yang tinggi sekali (sekitar 0,74 dan
0,90) antara perbedaan pendidikan (kultural) dalam lingkungan dengan perbedaan
dalam prestasi di sekolah. Dari berbagai data dan penelitian dapat ditarik satu
kesimpulan umum bahwa perbedaan-perbedaan hereditas dan lingkungan menyebabkan
terjadi perbedaan-perbedaan dalam inteligensi atau IQ anak. Reaksi terhadap
kesimpulan ini cukup besar, masing-masing dari kelompok hereditarians dan
kelompok lingkungan. Masing-masing mengklaim peranan dominannya. Hereditarians
menganggap IQ itu faktor yang hampir tidak berubah dan telah ditentukan
gena-gena yang berkaitan sejak lahir. Sebaliknya, kaum environmentalists,
menekankan sifat dapat berubahnya IQ, inteligensi dapat ditingkatkan oleh
lingkungan, karena itu untuk memperolch perkembangan inteligensi yang tinggi
perlu ada perbaikan dalam lingkungan, terutama dalam sistem pendidikan.
Ketajaman perbedaan antara nature dan nurture ini amat
terasa di dalam psikologi pendidikan. Pengaruh yang amat besar dari sini
terhadap pendidikan dan pengajaran datang dari dua kelompok pakar, yaitu dari
kelompok pakar pengukuran atau tes terutama tes inteligensi (IQ) dan tes
prestasi belajar, yang pada umunmya adalah pengikut aliran hereditarian atau nature.
Di lain pihak kelompok pencetus dari berbagai teori belajar atau theories of
learning pada umumnya adalah penganut aliran perilaku (behavionistik) yang
cenderung berpandangan environmetalism (nurture).
4. Pandangan Kaum
Modern.
Menurut
pandangan modern, penyelesaian terhadap konflik berkepanjangan antara paham nature
dan nurture ini sesungguhnya tidak perlu dijawab karena memang tidak ada
manfaatnya. Menurut pandangan modern, perilaku manusia, khususnya perilaku
pelajar, bukanlah hasil dari penyebab tunggal, tetapi adalah hasil dari multi
penyebab. Perilaku manusia , termasuk perilaku pelajar adalah hasil dari
berinteraksinya faktor-faktor hereditas, lingkungan dan waktu. Dengan demikian
terjadi proses saling mempengaruhi, hereditas berinteraksi dengan lingkungan
dan waktu, sebaliknya lingkungan berinteraksi dengan hereditas dan waktu, juga
waktu berinteraksi dengan hereditas dan lingkungan. Secara total terjadilah
multi interaksi antar tiga faktor,
hereditas; 1ingkungan, dan waktu . Potensi hereditas dapat disuburkan tetapi
juga dapat dimatikan, semuanya tergantung pada tipe, jumlah dan kualitas persentuhannya
dengan lingkungan serta tergantung dari pada kapan persentuhan itu terjadi.
Persentuhan ini dapat terjadi terlalu awal, tetapi juga dapat teriadi terlalu
terlambat.
Hasil studi penyimpulkan, semakin
erat kesamaan genetik antar manusia semakin tingi korelasi IQ mereka. Sedangkan
lingkungan yang sama atau hampir sama, akan melahirkan IQ yang sama atau hampir
sama. Situasi terhadap lingkungan khusus telah dilakukan, termasuk
faktor-faktor dalam keluarga (buku-buku yang ada di rumah dan sikap orang tua
terhadap sekolah), masalah gizi, variasi dalam stimulans, pengalaman lampau,
dan dorongan dari orang tua. Ditinjau dari waktunya, pengaruh lingkungan amat
besar atas perkembangan inteligensi dalam masa awal (waktu) usia anak-anak.
5. Guru
Memerlukan Wawasan Yang Luas
Guru
sangat perlu. mengenal dan mengetahui isu konflik antara nature dan nurture
ini. Mengapa ? Tujuan dan peranan guru adalah mendidik siswa sebagai mana
adanya Pengetahuan tentang kontroversi nature
dan nurture ini diperlukan untuk membuka dan memperluas wawasan sebagai
seorang guru yang profesional. Pekerjaan pembelajaran dapat dilakukannya lebih
fleksibel.
C. Tipologi Kepribadian Sehat
Ahli-ahli
psikologi semakin kritis terhadap tradisi-tradisi ini, karena mereka percaya
bahwa behaviorisme dan psikoanalisis memberikan pandangan yang terbatas tentang
kodrat manusia, mengabaikan puncak-puncak yang akan didaki oleh orang yang
punya potensi. Baik behaviorisme maupun psikoanalisis tidak berbicara tentang
potensi kita untuk tumbuh, keinginan kita untuk menjadi lebih baik dan
lebih banyak daripada yang ada, sehingga
pandangan ini memberikan suatu gambaran yang peimistik tentang kodrat manusia.
Sedangkan gambaran psikologi pertumbuhan tentang kodrat manusia adalah
optimistis dan penuh harapan. Mereka percaya terhadap kapasitas kita untuk
memperluas, memperkaya, mengembangkan, dan memenuhi diri kita, untuk menjadi
semuanya menurut kemampuan kita. Pendukung-pendukung gerakan potensi manusia
mengemukakan bahwa ada suatu tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
diperlukan, yang melampaui normalitas, dan mercka mengemukakan bahwa ada suatu
tingkat pertumbuhan yang lebih maju supaya merealisasikan/ mengaktualisasikan
semua potensinya.
Dalam buku
ini dibicarakan model-model kepnbadian sehat yang Gordon Allport Carl Rogers,
Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz
Perls.Teori-teori mereka dipilih karena teori mereka dikembangkan secara lebih lengkap dan
kontemporer. Meskipun tidak semua ahli teori ini dipandang sebagai
ahli-ahli psikologi pertumbuhan, namun mereka mengemukakan suatu tingkat
perkembangan kepribadian yang melampaui normalitas, dengan demikian masih
berhubungan dengan semangat psikologi.
1. Orang Yang
Matang (Model Allport)
Allport
merupakan salah seorang dari ahli- ahli psikologi yang pertama di Amerika yang
memusatkan perhatian pada kepribadian yang sehat daripada kepribadian neurotis.
Allport lebih optimis tentang kodrat manusia daripada Freud, yang memperhatikan
suatu keharuan yang luar biasa terhadap manusia, dan sifat-sifatnya yang bersumber pada masa kanak-kanaknya.
Pandangan orang yang sehat adalah
ke depan, kepada peristiwa kontemporer dan peristiwa-peristiwa yang akan datang
sehingga membentuk banyak kebebasan dalam memilih dan bertindak.
Manusia
yang sehat memiliki kebutuhan terus menerus akan variasi, akan sensasi-sensasi
dan tantangan baru. Mereka tidak suka akan hal-hal yang rutin sehingga selalu
berusaha mencari pengalaman baru. Mereka mengambil resiko, berspekulasi, dan
mencari hal-hal baru. Semua aktivitas ini menghasilkan tegangan. Tapi menurut
Allport hanya melalui pengalaman-pengalaman dan resiko-resiko yang menimbulkan
tegangan baru inilah manusia cepat tumbuh.
Allport
memperhatikan hubungan antara bayi dan ibunya, khususnya dengan banyaknya
keamanan dan kasih sayang yang diberikan ibu terhadap anak. Apabila bayi
menerima keamanan dan kasih sayang cukup, pertumbuhan psikologis yang positif
akan terjadi sepanjang saat munculnya diri. Maka jelaslah, peranan ibu sangat
penting. Seorang ibu yang tidak memberikan kasih sayang dan keamanan cukup pada
bayi maka bayi tersebut akan tidak aman, agresif, suka menuntut, iri hati,
egosentris dan pertumbuhan psikologisnya hilang.
Kriteria
kematangan ini merupakan pandangan-pandangan Allport tentang sifat-sifat khusus
dari kepribadian sehat.
1. Perluasan Perasaan
Diri.
Ketika orang menjadi matang. Dia
mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri dan harus meluaskan diri ke
dalam aktivitas. Semakin seseorang terlibat sepenuhnya dalam berbagai aktivitas/orang/ide,
maka dia semakin sehat secara psikologis.
2. Hubungan Diri Yang
Hangat dengan Orang-orang Lain
Allport membedakan dua macam tipe :
a)
Kapasitas untuk keintiman
Merupakan
suatu perasaan dan perluasan diri yang berkembang dengan baik. Orang yang sehat
secara psikologis mampu memperhatikan keintiman (cinta) terhadap orang tua,
anak, partner, dan teman akrab.
b)
Kapasitas untuk perasaan terharu
Orang yang
sehat memiliki kapasitas berempati, yang timbul melalui perluasan imaginatif
dari perasaan orang sendiri terhadap kemanusiaan pada uinumnya. Sebagai hasil
kapasitas untuk perasaan terharu : kepribadian yang matang, sabar terhadap
tingkah laku orang dan tidak imenghukumnya; mau menerima kelemahan-kelemahan
manusia dan menyadari bahwa dia punya kelemahan sendiri.
c).
Keamanan Emosional
Kualitas
dari keamanan emosional adalah sabar terhadap kekecewaan, dapat menerima diri
dan dapat mengontrol emosi mereka.
d).
Persepsi Realistis
Orang-orang yang schat memandang dunia
mereka secara objektif, mereka menerima realitas apa adanya.
3.
Ketrampilan-ketrampilan dan Tugas-tugas
Pekerjaan
dan tanggung jawab memberikan arti dan perasan kontinuitas untuk hidup. Tidak
mungkin mencapai kematangan dan kesehatan psikologis yang positif tanpa ada
dedikasi, komitmen, dan ketrampilan-ketrampilan dalam melakukan setiap
pekerjaan.
4. Pemahaman Diri
Pengenalan
diri yang memadai menuntut pemahaman tentang hubungan dan perbedaan antara
gambaran tentang diri yang dimiliki seseorang dengan dirinya menurut keadaan
sesungguhnya. Orang yang memiliki tingkat pemahaman diri tinggi tidak mungkin
memproyeksikan kualitas-kualitas pibadinya yang negatif kepada orang-orang
lain, selain itu juga terbuka pada pendapat orang lain dalam merurnuskan suatu
gambaran diri yang objektif.
5. Filsafat Hidup Yang
Mempersatukan
Allport
menyebut dorongan yang mempersatukan ini adalah "arah" (directness),.
Arah ini dan membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu tujuan
(atau rangkaian tujuan) serta memberikan orang itu suatu alasan untuk hidup.
Hal lain yang ikut berperan dalam fisafat hidup yang mempersatukan adalah
nilai-nilai dan suara hati.
BAB III
BELAJAR
Tujuan
Mempelajari Pokok Bahasan Ini :
Dengan mempelajari BAB III ini diharapkan
mahasiswa dapat menjelaskan tentang :
1. Hakekat belajar, faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar, tujuan belajar, ingatan dan lupa serta motivasi belajar.
2. Teori belajar kognitif, behavioristik,
dan humanistik serta penerapannya dalam bidang pendidikan.
A. Hakekat Belajar
Berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada proses belajar yang dialami siswa sebagai
anak didik. Adapun proses belajar yang
dilakukan seseorang, tergantung dari pandangannya tentang aktivitas belajar.
Ada orang yang berpandangan bahwa belajar adalah suatu kegiatan menghafal
fakta-fakta, sehingga seseorang sudah merasa puas bila mampu menghafal sejumlah
fakta di luar kepala. Ada pula yang berpandangan bahwa belajar adalah suatu
aktivitas latihan, sehingga untuk memperoleh kemajuan, seseorang melatih diri
dengan berbagai aspek tingkah laku
meskipun tidak memiliki pengetahuan mengenai arti, hakekat, dan tujuan
ketrampilan tersebut. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan belajar ?
Menurut Slameto (1995) belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Santrock dan
Yussen (1994) mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif bersifat
permanen karena adanya pengalaman.
Reber (1988) mendefinisikan belajar dalam 2 pengertian. Pertama,
belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai
perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang
diperkuat. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses memperoleh
pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan
bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu
dengan lingkungannya.
Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam
belajar menurut Slameto (1995)
adalah :
1.
Perubahan terjadi secara
sadar
Ini
berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu
atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam
dirinya misalnya menyadari pengetahuannya bertambah. Oleh karena itu, perubahan
tingkah laku yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan tidak sadar tidak
termasuk dalam pengertian belajar.
2.
Perubahan bersifat
kontinu dan fungsional
Sebagai
hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara
berkesinambungan dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan
perubahan berikutnya dan selanjutnya
akan berguna bagi kehidupan atau bagi proses belajar berikutnya.
Misalnya jika seorang anak belajar menulis, maka ia akan mengalami perubahan
dari tidak dapat menulis menjadi dapat menulis. Perubahan ini akan berlangsung
terus sampai kecakapan menulisnya menjadi indah dan sempurna, dapat menulis
dengan berbagai alat tulis, dan dapat menulis untuk berbagai tujuan.
3.
Perubahan bersifat
positif dan aktif
Dalam
perilaku belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju
untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin
banyak usaha belajar itu dilakukan maka makin baik dan makin banyak perubahan
yang diperoleh. Perubahan dalam belajar bersifat aktif, ini berarti bahwa
perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu
sendiri. Oleh karena itu, perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang
terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam tidak termasuk perubahan
dalam pengertian belajar.
4.
Perubahan bukan bersifat
sementara
Perubahan
yang terjadi karena belajar bersifat menetap atau permanen. Misalnya kecakapan
seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar tidak akan hilang begitu
saja melainkan akan terus dimiliki bahkan akan makin berkembang kalau terus
dipergunakan atau dilatih.
5.
Perubahan dalam belajar
bertujuan atau terarah
Ini
berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan
dicapai. Perubahan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang
benar-benar disadari. Misalnya seseorang yang belajar mengetik, sebelumnya
sudah menetapkan apa yang mungkin dapat
dicapai dengan belajar mengetik. Dengan demikian perbuatan belajar yang
dilakukan senantiasa terarah kepada tingkah laku yang ditetapkannya.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh
seseorang setelah melalui proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang
belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku
secara meyeluruh dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan, dan sebagainya.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Menurut
Slameto (1995) ada 2 faktor yang mempengaruhi belajar yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu
yang sedang belajar, sedang faktor ekstern adalah faktor yang ada di
luar individu.
Faktor
intern meliputi : faktor jasmaniah dan faktor psikologis. Faktor jasmaniah
meliputi faktor kesehatan dan cacat
tubuh, sedangkan faktor psikologis meliputi intelegensi, perhatian, minat,
bakat, motif, kematangan, dan kelelahan.
aktor
ekstern yang berpengaruh dalam belajar meliputi faktor keluarga, faktor
sekolah, dan faktor masyarakat. Faktor keluarga dapat meliputi cara orangtua
mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orangtua, dan latarbelakang
kebudayaan. Faktor sekolah yang
mempengaruhi belajar meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi antar siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah,
standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Faktor
masyarakat dapat berupa kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk
kehidupan dalam masyarakat, dan media massa.
Muhibbinsyah
(1997) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi 3 macam, yaitu:
1) faktor internal, yang meliputi keadaan jasmani dan rohani siswa, 2) faktor eksternal
yang merupakan kondisi lingkungan di sekitar siswa, dan 3) faktor pendekatan
belajar yang merupakan jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan
metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi
pelajaran.
Ditinjau
dari faktor pendekatan belajar, terdapat 3 bentuk dasar pendekatan belajar
siswa menurut hasil penelitian Biggs (1991), yaitu :
1.
Pendekatan
surface (permukaan/bersifat lahiriah). Yaitu kecenderungan belajar siswa
karena adanya dorongan dari luar (ekstrinsik), misalnya mau belajar karena
takut tidak lulus ujian sehingga dimarahi orangtua. Oleh karena itu gaya
belajarnya santai, asal hafal, dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.
2.
Pendekatan
deep (mendalam). Yaitu kecenderungan belajar siswa karena adanya
dorongan dari dalam (intrinsik), misalnya mau belajar karena memang tertarik
pada materi dan merasa membutuhkannya.Oleh karena itu gaya belajarnya serius
dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Pendekatan
achieving (pencapaian prestasi tinggi). Yaitu kecenderungan belajar
siswa karena adanya dorongan untuk mewujudkan ego enhancement yaitu
ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan
cara meraih prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius
daripada siswa yang menggunakan pendekatan belajar lainnya. Terdapat
ketrampilan belajar yang baik dalam arti memiliki kemampuan tinggi dalam
mengatur ruang kerja, membagi waktu dan
menggunakannya secara efisien, serta memiliki ketrampilan tinggi dalam
penelaahan silabus. Disamping itu siswa dengan pendekatan ini juga sangat
disiplin, rapi, sistematis, memiliki perencanaan ke depan (plans ahead), dan memiliki dorongan
berkompetisi tinggi secara positif.
C. Tujuan Belajar
Tujuan belajar sangat penting
dalam proses pembelajaran baik bagi guru maupun bagi siswa. Siswa adalah
subjek yang terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan tersebut siswa
mengalami proses pembelajaran dan merespon dengan perilaku belajar. Pada
umumnya siswa belum menyadari pentingnya belajar. Berkat informasi guru tentang
sasaran belajar atau tujuan belajar maka siswa mengetahui apa dan arti bahan
belajar baginya. Tujuan belajar yang ditetapkan oleh guru biasanya merupakan
panduan bagi guru untuk memilih, memberi tekanan atau melampaui materi
pelajaran dan aktivitas dalam mempersiapkan pelajaran dan pengajaran baik di
kelas maupun di lapangan.
Ralph
Tyler (dalam de Cecco dkk, 1977) memberikan 3 alasan penting tujuan belajar
yang ditetapkan dalam tujuan instruksional, yaitu :
- Memberikan
panduan dalam merencanakan pembelajaran, apa yang diharapkan akan dicapai
murid setelah pembelajaran selesai.
- Berguna
dalam pengukuran prestasi belajar.
- Siswa
mengetahui sebelumnya apa yang harus dipelajari dalam satu unit pelajaran,
sehingga selanjutnya ia dapat lebih mengarahkan perhatian dan usahanya.
A. Ingatan dan Lupa
Seringkali
dalam belajar, apa yang kita pelajari dengan tekun justru sukar sekali diingat
kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman dan
pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa atau forgetting
ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang
sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana Gulo (1982) dan Reber (1988)
mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang
pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, menurut Muhibinsyah (1997)
lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal
kita.
Ada
beberapa faktor penyebab lupa yaitu :
1.
Karena adanya gangguan item-item informasi atau materi yang ada dalam
sistem memori siswa. Gangguan item informasi dapat terjadi karena 2 sebab :
a.
Materi
pelajaran lama yang sudah tersimpan menganggu masuknya materi baru (proactive
interference). Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa mempelajari sebuah
materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang dikuasainya
dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi pelajaran yang baru
saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali.
b.
Materi
pelajaran baru menganggu pemanggilan kembali
materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam memori (retroactive
interference). Sehingga dengan dipelajarinya materi baru siswa justru
menjadi lupa terhadap materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya.
- Adanya
tekanan terhadap item informasi yang telah ada, baik secara disengaja
maupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan, antara
lain :
a.
Karena
item informasi yang diterima siswa kurang menyenangkan sehingga dengan sengaja
atau tidak sengaja siswa menekannya kembali ke alam ketidaksadaran.
b.
Karena
item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada.
c.
Karena
item informasi yang akan diingat kembali tertekan ke alam bawah sadar dengan
sendirinya karena tidak pernah dipergunakan.
- Adanya
perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat
kembali.
- Adanya
perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar.
- Materi
pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan (law
of disuse).
- Adanya
perubahan urat syaraf otak yang antara lain dapat disebabkan oleh : adanya
benturan, alkohol, obat-obatan, terserang penyakit tertentu dan
sebagainya.
- Item
informasi yang masuk sudah rusak terlebih dahulu sebelum disimpan dalam
memori permanennya. Hal ini dapat terjadi karena adanya tenggang waktu
antara saat terserapnya informasi dengan saat proses pengkodean dan
transformasi dalam memori jangka pendek siswa.
Materi
pelajaran yang terlupakan oleh siswa, menurut ahli psikologi kognitif tidak
sepenuhnya hilang dalam ingatan seseorang. Materi pelajaran tersebut
sesungguhnya masih terdapat dalam subsistem memori seseorang akan tetapi
terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Setelah melakukan relearning
(belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan)
akhirnya akan diperoleh kinerja akademik
yang lebih memuaskan daripada sebelumnya.
B. Motivasi Belajar
Motivasi belajar memegang peran yang sangat
penting dalam pencapaian prestasi belajar. Motivasi menurut Wlodkowsky (dalam
Prasetya dkk, 1985) merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan
perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku
tersebut. Motivasi belajar yang tinggi tercermin dari ketekunan yang tidak
mudah patah untuk mencapai sukses meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan
Biggs dan Telfer (dalam Dimyati dkk, 1994) menyatakan bahwa pada
dasarnya siswa memiliki bermacam-macam motivasi dalam belajar. Macam-macam
motivasi tersebut dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu : 1) motivasi
instrumental, 2) motivasi sosial, 3) motivasi berprestasi, dan 4) motivasi
intrinsik.
Motivasi instrumental berarti bahwa siswa belajar karena didorong
oleh adanya hadiah atau menghindari hukuman. Motivasi sosial berarti bahwa
siswa belajar untuk penyelenggaraan tugas, dalam hal ini keterlibatan siswa
pada tugas menonjol. Motivasi berprestasi berarti bahwa siswa belajar untuk meraih
prestasi atau keberhasilan yang telah ditetapkannya. Motivasi instrinsik
berarti bahwa siswa belajar karena keinginannya sendiri.
Motivasi yang tinggi dapat menggiatkan aktivitas belajar siswa.
Motivasi tinggi dapat ditemukan dalam sifat perilaku siswa antara lain :
a.
Adanya kualitas keterlibatan
siswa dalam belajar yang sangat tinggi.
b.
Adanya perasaan dan
keterlibatan afektif siswa yang tinggi
dalam belajar.
c.
Adanya upaya siswa untuk
senantiasa memelihara atau menjaga agar senantiasa memiliki motivasi belajar
tinggi.
Dari berbagai teori motivasi yang berkembang, Keller (dalam
Prasetya, 1997) telah menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat
diterapkan dalam proses belajar mengajar yang disebut sebagai model ARCS. Dalam
model tersebut ada 4 kategori kondisi motivasional yang harus diperhatikan guru
agar proses penbelajaran yang dilakukannya menarik, bermakna, dan memberi
tantangan pada siswa. Keempat kondisi tersebut adalah :
1.
Attention (perhatian)
Perhatian
siswa muncul didorong rasa ingin tahu. Oleh karena itu rasa ingin tahu ini
perlu mendapat rangsangan sehingga siswa
selalu memberikan perhatian terhadap materi pelajaran yang diberikan.
Agar siswa berminat dan memperhatikan materi pelajaran yang disampaikan guru
dapat menyampaikan materi dan metode secara bervariasi, senantiasa mendorong
keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, dan banyak menggunakan
contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari untuk memperjelas konsep.
2.
Relevance (relevansi)
Relevansi menunjukkan adanya hubungan
antara materi pelajaran dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Motivasi siswa akan
terpelihara apabila siswa menganggap apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan
pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.
3.
Confidence (kepercayaan diri)
Merasa
diri kompeten atau mampu merupakan potensi untuk dapat berinteraksi secara
positif dengan lingkungan. Bandura (1977) mengembangkan konsep tersebut dengan
mengajukan konsep self efficacy. Konsep tersebut berhubungan dengan
keyakinan pribadi bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas
yang menjadi syarat keberhasilan. Self efficacy tinggi akan semakin mendorong dan memotivasi
siswa untuk belajar tekun dalam mencapai prestasi belajar maksimal. Agar
kepercayaan diri siswa meningkat guru perlu memperbanyak pengalaman berhasil
siswa misalnya dengan menyusun aktivitas pembelajaran sehingga mudah dipahami,
menyusun kegiatan pembelajaran ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil,
meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menyatakan persyaratan untuk
berhasil, dan memberikan umpan balik yang konstruktif selama proses
pembelajaran.
4.
Satisfaction (kepuasan)
Keberhasilan dalam mencapai tujuan akan menghasilkan kepuasan, dan
siswa akan semakin termotivasi untuk mencapai tujuan yang serupa. Kepuasan
dalam pencapaian tujuan dipengaruhi oleh konsekwensi yang diterima, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi siswa, guru dapat
memberi penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan
dan sebagainya.
C. Teori Belajar dan Aplikasinya
1.
Teori
Belajar Kognitif
Pendekatan
psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal mental
manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan diterangkan
tanpa melibatkan proses mental misalnya motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, tingkah laku termasuk belajar selalu didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah
laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam
situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Dengan
demikian tingkah laku seseorang bergantung kepada insight terhadap
hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih dari
bagian-bagiannya dengan penekanan pada organisasi pengamatan atas stimuli di
dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan
(Soemanto, 1998)
Setiap
orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman
dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini,
proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru
beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan sepotong-sepotong atau terpisah-pisah, melainkan
melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh. Misalnya :
ketika seseorang membaca suatu bahan bacaan, maka yang dibacanya bukan
huruf-huruf yang terpisah-pisah, melainkan kata, kalimat, atau paragraf yang
kesemuanya seolah menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara total bersamaan.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan
lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Max
Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving.
Sumbangannya diikuti oleh Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci
tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang
meneliti tentang insight pada simpanse. Penelitian-penelitian ini
menumbuhkan psikologi gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi,
struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.
Konsep
penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau
pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu
situasi permasalahan. Insight ini sering dihubungkan dengan pernyataan aha.
Dalam prakteknya, teori ini antara lain
terwujud dalam pandangan Piaget mengenai tahap-tahap perkembangan, dalam
pandangan Ausubel mengenai belajar bermakna, dan pandangan Jerome Bruner
mengenai belajar penemuan secara bebas (free discovery learning).
Secara
ringkas, pandangan Piaget, Ausubel, dan Bruner adalah sebagai berikut.
a.
Piaget
Menurut
Jean Piaget, proses belajar sesungguhnya terdiri dari 3 tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi
adalah proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur
kognitif yang telah ada ke dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian
struktur kognitif pada situasi yang baru. Equilibrasi adalah
penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Misalnya seorang
siswa telah memiliki pengetahuan tentang baik dan buruk. Kemudian gurunya
memberi pelajaran baru tentang perbuatan baik dan buruk menurut Pancasila. Maka
proses penyesuaian materi baru terhadap materi pengetahuan yang sudah dimiliki
siswa itu disebut asimilasi.
Jika
proses ini dibalik, yaitu pengetahuan si mahasiswa disesuaikan dengan materi
baru, maka proses ini disebut sebagai akomodasi. Selama proses asimilasi
dan akomodasi berlangsung, diyakini ada perubahan struktur kognitif dalam diri
siswa. Proses perubahan ini suatu saat berhenti. Untuk mencapai saat berhenti
dibutuhkan proses equilibrasi (penyeimbangan). Jika proses equilibrasi
ini berhasil dengan baik, maka terbentuklah struktur kognitif yang baru dalam
diri siswa berupa penyatuan yang harmonis antara pengetahuan lama dengan
pengetahuan baru.
Seseorang
yang mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai
informasi ke dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan seseorang
yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi yang baik akan cenderung memiliki
alur fikir yang ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit.
Disamping
itu, Piaget berpandangan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal ini Piaget membagi menjadi
4 tahap, yaitu :
1.
Tahap
sensori motor (0 tahun sampai 1,5 tahun atau 2 tahun)
Pada tahap
ini tingkah laku inteligen individu dalam bentuk aktivitas motorik sebagai
reaksi stimulasi sensorik. Anak belum mempunyai konsep tentang objek secara
tetap, namun hanya mengetahui hal-hal yang ditangkap melalui inderanya.
2. Tahap praoperasional (2 atau 3 tahun sampai 7 atau 8 tahun)
Pada tahap ini reaksi anak terhadap stimulus sudah berupa aktivitas
internal. Anak telah memiliki penguasaan bahasa yang sistematis, permainan
simbolis, imitasi, serta bayangan dalam mental.
Anak sudah mampu menirukan tingkah laku yang dilihatnya sehari atau
sehari sebelumnya, serta dapat mengadakan antisipasi. Akan tetapi pada masa ini pola berfikir anak
masih egosentrik, cara berfikirnya memusat (hanya mampu memusatkan pikiran pada
1 dimensi saja), dan berfikirnya tidak dapat dibalik.
3.
Stadium Operasional
Kongkrit (7 atau 8 tahun sampai 12 atau 14 tahun)
Cara berfikir egosentris semakin berkurang dan anak sudah mampu
berfikir multi dimensi dalam waktu seketika dan mampu menghubungkan beberapa
dimensi itu. Di samping itu, anak sudah mampu memperhatikan aspek dinamis dalam
berfikir, dan mampu berfikir secara reversible
(dapat dibalik).
4.
Stadium Operasional
Formal
Cara berfikir seseorang tidak terikat, sudah terlepas dari tempat
dan waktu. Bila dihadapkan pada masalah seseorang sudah mampu memikirkan secara
teoritik dan menganalisa dengan penyelesaian hipotetis yang mungkin ada.
Disamping itu, individu juga sudah mampu melakukan matriks kombinasi atas berbagai
kemungkinan pemecahan masalah dan kemudian melakukan pengujian hipotesis atas
kemungkinan-kemungkinan jawaban tersebut.
Implikasi pandangan Piaget dalam praktek pembelajaran adalah bahwa
guru hendaknya menyesuaikan proses pembelajaran yang dilakukan dengan
tahapan-tahapan kognitif yang dimiliki anak didik. Karena tanpa penyesuaian
proses pembelajaran dengan perkembangan kognitifnya, guru maupun siswa akan
mendapatkan kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Misalnya mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada siswa kelas
dua SD, tanpa ada usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsep tersebut tidak
hanya percuma, akan tetapi justru semakin membingungkan siswa dalam memahami
konsep yang diajarkan.
Secara umum,
pengaplikasian teori Piaget biasanya mengikuti pola sebagai berikut :
a.
menentukan tujuan-tujuan
instruksional
b.
memilih materi pelajaran
c.
menentukan topik-topik yang
mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa
d.
menentukan dan merancang
kegiatan kegiatan belajar yang cocok untuk topik-topik yang akan dipelajari
siswa.(Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk eksperimentasi, problem
solving, role play, dan sebagainya)
e.
mempersiapkan berbagai
pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi maupun bertanya
f.
mengevaluasi proses dan hasil
belajar.
2.
Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika advance
organizer (pengatur kemajuan belajar) didefinisikan dan dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep
atau informasi umum yang mewadahi dan mencakup semua inti pelajaran yang akan
diajarkan kepada siswa. Jadi proses belajar berlangsung secara deduktif (dari
umum ke khusus).
Advance organizer dapat memberikan 3
macam manfaat, yaitu :
a.
dapat menyediakan suatu kerangka
konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari siswa.
b.
Dapat berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa dengan saat
ini dengan apa yang akan dipelajari siswa
c.
Membantu siswa memahami bahan
belajar secara lebih mudah.
Oleh karena itu guru dituntut memiliki pengetahuan terhadap isi mata
pelajaran dengan sangat baik serta dituntut pula untuk memiliki logika berfikir
yang baik. Dimilikinya pengetahuan terhadap isi mata pelajaran dengan sangat
baik menjadikan guru mampu menemukan informasi yang berciri sangat
abstrak, umum, dan inklusif sehingga mampu mewadahi apa yang akan diajarkan.
Logika berfikir guru yang baik akan menjadikan guru mampu untuk memilah-milah
materi pelajaran dan merumuskannya dalam rumusan yang singkat, padat, serta
mengurutkan materi demi materi itu ke dalam struktur urutan yang logis dan
mudah dipahami.
Secara umum, teori Ausubel dalam praktek adalah sebagai berikut :
a.
menentukan tujuan-tujuan
instruksional
b.
mengukur kesiapan mahasiswa
(minat, kemampuan, struktur kognitif) baik melalui tes awal, interview, review,
pertanyaan, dan lain-lain.
c.
memilih materi pelajaran dan
mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci
d.
mengidentifikasi
prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.
e.
menyajikan suatu pandangan
secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari
f.
membuat dan menggunakan advance
organizer, paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang
baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan
keterkaitan antara materi yang sudah diberikan dengan materi baru yang akan
diberikan.
g.
mengajar kepada siswa untuk
memahami konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan memfokuskan
pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.
h.
mengevaluasi proses dan hasil
belajar.
3. Bruner
Menurut Bruner proses belajar lebih
ditentukan oleh cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh
umur seseorang seperti yang telah dikemukakan oleh Piaget.
Adapun proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
a)
Enaktif, berupa aktivitas siswa untuk memahami lingkungan melalui
pengalaman langsung suatu realitas.
b)
Ikonik, berupa upaya siswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal.
c). Simbolik, berupa
pemahaman siswa terhadap gagasan-agasan abstrak berupa teori-teori, penafsiran,
analisis, dan sebagainya terhadap realitas yang telah diamati atau dialami.
Dalam
aplikasi praktisnya teori belajar ini sangat membebaskan siswa untuk belajar
sendiri. Oleh karena itu teori belajar
ini sering dianggap bersifat discovery (belajar dengan cara
menemukan). Di samping itu, karena teori ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan sehingga desain yang berulang-ulang tersebut disebut
sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk
memberi materi perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks di mana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul
kembali secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian
seterusnya berulang-ulang sehingga tak terasa mahasiswa telah mempelajari suatu
ilmu pengetahuan secara utuh.
Secara umum, teori Bruner ini bila
diaplikasikan biasanya mengikuti pola sebagai berikut :
a.
menentukan tujuan-tujuan
instruksional
b.
memilih materi pelajaran
c.
menentukan
topik-topik yang mungkin dipelajari secara induktif oleh siswa.
d.
Mencari
contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya yang dapat digunakan mahasiswa
untuk belajar.
e.
Mengatur
topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu bergerak dari
yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke kompleks, dari
tahapan-tahapam enaktif, ikonik, sampai ke tahap simbolik dan seterusnya.
f.
Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.
2. Teori Belajar
Behavioristik
Menurut Soekamto (1995) manusia sangat dipengaruhi
oleh kejadian di dalam lingkungannya, yang
akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (
Stimulus – Respon).
Dengan
kata lain, belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya
interaksi antara stimulus dengan respons. Adapun akibat adanya interaksi antara
stimulus dengan respons, siswa mempunyai pengalaman baru, yang menyebabkan
mereka mengadakan tingkah laku dengan cara yang baru.
Menurut Sumadi Suryabrata (1983),
ciri-ciri teori belajar behavioristik, sebagai berikut :
a.
mementingkan pengaruh lingkungan (
environmentalistik ),
b.
mementingkan bagian-bagian (
elementalistik ),
c.
mementingkan peranan reaksi,
d.
mengutamakan mekanisme terbentuknya
hasil belajar,
e.
mementingkan sebab-sebab di waktu yang
lalu,
f.
mementingkan pembentukan kebiasaan,
dan
g.
dalam pemecahan problem, ciri khasnya trial
and error.
Teori belajar yang dikelompokkan dalam
teori belajar behavioristik, antara lain
ialah :
I.
Teori belajar koneksionisme dengan tokoh Edward Lee Thorndike.
II. Teori belajar classical
conditioning dengan tokoh Pavlov.
III.Teori belajar Descriptive behaviorism atau operant conditioning
dengan tokoh Skinner.
I.
Teori belajar
koneksionisme
Thorndike, sebagai tokoh dalam teori
belajar koneksionisme, adalah pelopor yang mengakui adanya hubungan antara
stimulus dan respons.
Eksperimen Thorndike yang menyebabkan
munculnya teori belajar koneksionisme adalah sebagai berikut :
Kucing lapar dimasukkan ke dalam
sangkar ( puzzle box ) dan di luar diletakkan daging. Kucing lapar ini
melakukan berbagai tingkah laku untuk keluar dari sangkar. Pada saat tidak
sengaja dia memijak tombol, pintu sangkar terbuka dan kucing keluar dari
sangkar untuk makan daging yang telah disediakan.
Setelah percobaan ini dilakukan
berkali-kali ternyata tingkah laku kucing keluar dari sangkar menjadi semakin
efisien. Ini berarti selama eksperimen, kucing dapat memilih atau menyeleksi
respons yang berguna dan respons yang tidak berguna. Respons yang berhasil
membuka pintu, yaitu menginjak tombol akan diingat, sedangkan respon lain yang
tidak berguna dilupakan. Dari eksperimen ini dapat disimpulkan bila belajar
dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau bond, atau
asosiasi, atau koneksi neural yang kuat antara stimulus dan respons. Dengan ini
maka teori Thorndike disebut teori koneksionisme.
Agar tercapai hubungan antara stimulus
dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu. Dengan ini Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar
dari belajar adalah “Trial and error learning atau selecting and
connecting lerning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
1). Hukum-hukum Belajar dari Thorndike.
Thorndike merumuskan hasil
eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar
(hukum primer) dan lima hukum tambahan. Adapun hukum dasar dari
Thorndike adalah sebagai berikut :
a). Bila seseorang telah siap melakukan sesuatu tingkah laku, dan
pelaksanaan tingkah laku tersebut memberi kepuasan baginya, maka ia tidak
melakukan tingkah laku lain karena tingkah laku tersebut telah memberi kepuasan
baginya. Contoh : Seseorang yang sudah benar-benar siap untuk menempuh ujian,
maka dia sangat puas bila ujian tersebut
benar-benar dilakukan. Dia akan mantap dan tegang selama mengerjakan ujian, dan
tidak berusaha untuk menyontek.
b). Bila seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, tetapi
tidak dilakukan tingkah laku tersebut, maka akan timbul kekecewaan baginya
sehingga menyebabkan dilakukannya tingkah laku lain untuk mengurangi
kekecewaannya. Contoh : Seseorang yang sudah belajar tekun sehingga benar-benar
siap untuk ujian tetapi jadwal ujian tiba-tiba diundur, maka dia sangat kecewa.
Untuk mengurangi kekecewaanya, dia membuat gaduh di dalam kelas, atau protes.
c). Bila seseorang belum siap melakukan tingkah laku tetapi ia harus
melakukannya, maka dilaksanakannya tingkah laku tersebut akan menimbulkan
ketidak puasan, sehingga ia melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi
terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh : peserta didik yang tiba-tiba
diberi tes atau ulangan tanpa diberi tahu terlebih dahulu, maka mereka protes supaya
tes dibatalkan, karena mereka belum siap.
d). Bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku maka tidak
dilakukannya tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan. Contoh : Peserta
didik menjadi sangat puas dan lega setelah ada pengumuman bila ulangan diundur
satu minggu, karena dia belum merasa belajar sehingga belum siap untuk menempuh
ulangan
2). Hukum
latihan ( the law of exercise )
Hukum ini dibagi dua, yaitu hukum
penggunaan (the law of use) dan hukum tidak ada penggunaan (the law
of disuse). The law of use menyatakan bahwa dengan
latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus dan respons makin kuat. Law of disuse menyatakan bahwa hubungan
antara stimulus dan respon melemah bila latihan dihentikan. Contoh : bila
peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan
kata, maka bila ada stimulus yang berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya
makan ?” peserta didik langsung dapat memberi jawaban (respon) dengan benar.
Tetapi bila peserta didik tidak pernah menggunakan kata itu, maka peserta didik
tidak dapat memberi respons yang benar.
Dari hukum ini dapat diambil inti
sarinya, bila prinsip utama belajar adalah ulangan. Makin sering suatu
pelajaran diulangi, makin dikuasailah pelajaran tersebut, dan makin tidak
pernah diulangi, pelajaran tersebut makin tidak dapat dikuasai.
3). Hukum akibat ( the law of effect )
Hukum ini menyatakan bahwa hubungan stimulus
respon diperkuat bila akibatnya memuaskan dan diperlemah bila akibatnya tidak
memuaskan. Dengan perkataan lain, suatu perbuatan yang diikuti oleh akibat yang
menyenangkan, cenderung untuk diulang, dan apabila akibatnya tidak menyenangkan
maka akan cenderung dihentikan.
Dalam hal ini terdapat hubungan yang
erat antara hadiah dan hukuman. Tingkah
laku yang menghasilkan hadiah akan terus dilakukan, sedang yang mengakibatkan
hukuman akan dihentikan. Contoh : Siswa yang nyontek tetapi didiamkan saja,
justru diberi nilai A, maka pada kesempatan lain akan menyontek lagi. Tetapi
siswa tersebut ditegur atau dipindahkan tempat duduknya sehingga teman-temannya
tahu kalau menyontek, maka dia akan malu dan tidak akan menyontek lagi.
Selanjutnya Thorndike melengkapi
hukum-hukum tersebut diatas dengan lima hukum tambahan yaitu :
a)
Multiple Respons atau reaksi yang bervariasi, merupakan langkah permulaan dalam proses
belajar. Melalui proses trial and error
seseorang akan terus melakukan respons sebelum memperoleh respon yang
tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b)
Set atau attitude
atau sikap adalah situasi di dalam diri individu yang menentukan apakah sesuatu
itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Situasi ini ada yang lebih
bersifat sementara, misalnya kelelahan, lapar, emosi, dan ada yang lebih
bersifat menetap, misalnya latar belakang kebudayaan dan faktor keturunan.
Proses belajar individu dapat berlangsung dengan baik, lancar bila situasi
menyenangkan, dan proses belajar akan terganggu terganggu bila situasi tidak
menyenangkan.
c)
Prinsip aktivitas berat sebelah (partial
activity/prepotency of elements) merupakan prinsip yang menyatakan bahwa
manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan persepsinya
terhadap keseluruhan situasi (respon selektif). Dengan demikian orang dapat
memberi respons yang berbeda pada stimulus yang sama. Ini berarti bahwa dalam
proses belajar, seseorang harus memperhatikan lingkungan yang sangat komplek
yang dapat memberi kesan yang berbeda untuk orang yang berbeda.
d)
Prinsip Response by analogy
atau transfer of training. Menurut prinsip ini manusia dapat melakukan
respon pada situasi yang belum pernah dialami melalui pemindahan ( transfer ) unsur-unsur
yang telah mereka kenal kepada situasi baru. Prinsip ini dikenal pula dengan
sebutan theory of identical elements yang menyatakan bahwa makin banyak
unsur yang identik, maka proses transfer akan
semakin mudah. Contoh : Peserta didik di rumah dapat membaca koran
walaupun tidak pernah diberi pelajaran membaca koran, karena huruf-huruf yang
terdapat di koran identik dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah.
Dengan lahirnya konsep transfer of
training, Thorndike mengharapkan agar pengetahuan-pengetahuan yang
diperoleh peserta didik di sekolah dapat diterapkan untuk berbagai keperluan
sekolah. Dengan kata lain agar ada transfer dari sekolah ke masyarakat. Untuk
terlaksananya hal ini, unsur-unsur di sekolah diusahakan sebanyak mungkin
identik dengan unsur-unsur di masyarakat. Misalnya kurikulum sekolah, suasana
kelas dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup tugas-tugas dan kemampuan yang
diperlukan di luar sekolah.
e)
Perpindahan asosiasi ( Associative
Shifting ). Ini merupakan proses
peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara
bertahap, dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur-unsur (elemen)
baru dan membuang unsur-unsur lama sedikit demi sedikit sekali sehingga unsur
baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu.. Bagan dari associative
shifting sebagai berikut :
S abcde R
abchi R
abhij R
ahijk R
S
hijkl R
Dari bagan ini nampak bila unsur pada
baris paling atas sangat berbeda dengan unsur pada baris paling bawah. Proses
ini mirip dengan conditioned response.
4). Revisi
hukum belajar dari Thorndike.
Eksperimen Thorndike dilakukan pada
tahun 1913, 1932, 1935 dan 1968. Selama eksperimen selalu ada
perkembangan-perkembangan, sehingga berdasarkan eksperimen yang dilakukan
setelah tahun 1930, timbullah revisi-revisi pada teorinya sebagai berikut :
a.
Hukum latihan ditinggalkan, karena
ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus
dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum tentu melemahkan hubungan
stimulus-respon.
b.
Hukum akibat (the law of effect)
direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan, bahwa hanya
sebagian saja dari hukum ini yang benar. Dalam hal ini hadiah (reward)
akan meningkatkan hubungan stimulus-respon, tetapi hukuman (punisment) tidak mengakibatkan efek
apa-apa. Dengan revisi ini berarti Thorndike tidak menghendaki adanya hukuman
dalam belajar.
c.
Belongingness, yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus-respon
bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut.
Dengan demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.
d.
Spread of effect, yang intinya adalah bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular.
Misalnya siswa yang setelah giat belajar matematika dapat mengerjakan soal
dengan mudah dan mendapat nilai A, maka kondisi ini menjadikan ia semakin ingin belajar giat belajar pula
dalam mata pelajaran yang lain. Tidak hanya ini saja, bahkan teman-teman
sekelasnyapun ingin mengikuti jejaknya.
5). Penerapan teori belajar koneksionisme dalam proses
pembelajaran
Teori belajar koneksionisme dapat diterapkan dalam proses pembelajaran
antara lain sebagai berikut:
a). Guru dalam proses pembelajaran, jangan hanya mengharapkan siswanya
tahu apa yang telah diberikan, tetapi yang terutama, guru harus tahu apa yang
hendak diberikan kepada siswa. Kalau guru tidak tahu, berarti guru tidak tahu
materi apa yang akan diberikan, respons apa yang diharapkan, kapan harus
memberi hadiah, yang berarti pula guru tidak memahami tujuan yang hendak
dicapai dalam proses pembelajaran.
b). Dalam proses pembelajaran, tujuan yang akan dicapai harus
dirumuskan dengan jelas, dan harus masih dalam jangkauan kemampuan siswa atau
peserta didik. Tujuan tersebut harus terbagi bagi menurut unit-unit, sehingga
guru dapat menerapkannya menurut bermacam-macam situasi.
c). Dalam proses pembelajaran, motivasi tidak begitu penting, karena
perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards, bukan
oleh instrinsic motivation. Yang lebih penting ialah adanya
respon-respons yang benar terhadap stimuli. Apabila peserta didik melakukan
respons yang salah terhadap stimulus, harus segera diperbaiki, sebelum
kesalahan tersebut sempat diulang-ulang.
d). Ulangan yang teratur perlu, sebagai umpan balik bagi guru, apakah
proses pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.
e). Peserta didik yang sudah dapat belajar dengan baik, segera
diarahkan.
f). Situasi belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata dalam
masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari dalam kelas
ke lingkungan di luar kelas.
g).Materi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus dapat
digunakannya di luar sekolah, dalam kehidupan sehari-hari.
h). Apabila guru memberi masalah yang sulit, melebihi kemampuan peserta
didik, tidak akan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan
permasalahannya.
II. Teori belajar classical conditioning
Classical conditioning atau kondisioning klasik, ditemukan oleh Ivan P. Pavlov, seorang ahli
fisiologi Rusia. Waktu Pavlov melakukan penelitian proses pencernaan pada
anjing melihat daging, atau mendengar langkah kaki majikannya mendekat.
Berdasarkan penemuan ini, Pavlov mengadakan ekspeimen di laboratorium, dengan
cara sebagai berikut :
Anjing yang telah dioperasi kelenjar
ludahnya, supaya diukur sekresi ludahnya, kemudiaan dilaparkan. Setelah itu,
bel dibunyikan selama 30 detik, kemudian tepung daging diberikan kepada anjing.
Pada saat bel dibunyikan, anjing tidak mengeluarkan air liur, tetapi pada saat
daging didekatkan pada ajing, anjing mengeluarkan air liur. Percobaan ini
dilakukan berulang-ulang dengan jarak 15 menit. Setelah diulang sampai 32 kali,
baru mendengar bel, anjing sudah mengeluarkan air liur. Setelah daging
diberikan kepada anjing, keluarnya air liur bertambah banyak.
Berdasarkan eksperimen ini, Pavlov
memberi nama stimulus dan respon sebagai berikut :
1)
Daging yang dapat menimbulkan
keluarnya air liur pada anjing, disebut perangsang tak bersyarat, perangsang
wajar, perangsang alami, atau unconditioned stimulus ( US ). Disebut
demikian, karena memang sudah sewajarnya, kalau daging dapat merangsang anjing.
2)
Air liur yang keluar karena anjing
melihat daging atau mencium bau daging, disebut respon tak bersyarat, unconditioned
respons (UR), respons alami, respons wajar.
3)
Bunyi bel yang menyebabkan anjing
mengeluarkan air liur, disebut conditioning stimulus (CS), perangsang
tak wajar, perangsang tak alami, perangsang bersayarat.
4)
Air liur yang keluar karena anjing
mendengar bel, disebut respons bersyarat, conditioning respons ( CR ),
respon tak wajar, respon tak alami.
Dengan uraian ini, maka eksperimen
Pavlov secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut :
US
___________________ UR
CS1+ US1
___________________ UR1
CS2+ US2
___________________ UR2
CS3+ US3
___________________ UR3
CS32+US32
___________________ UR32
CSn ____________________ CRn
US merupakan stimulus yang secara
biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks atau UR. Kalau
dengan bantuan CS terbentuk CR, berarti sudah ada proses belajar.
Apabila pemberian CS tanpa adanya US
terus-menerus diberikan kadar CR makin menurun, dan dapat hilang sama sekali.
Proses ini disebut proses extinction, atau proses hilangnya respons yang
diharapkan. Tetapi apabila US diberikan lagi, maka dalam waktu yang relatif
singkat, CR akan muncul kembali kembali. Hal ini disebut spontaneous
recovery.
Supaya conditioning dapat
terjadi, CS harus bersifat informatif bagi organisme. Berarti, CS harus
merupakan tanda kalau US akan datang.
Walaupun pengulangan penyajian CS-US
menyebabkan CR yang timbul makin lama makin teratur dan kuat (diketahui dari
banyaknya air liur yang keluar), tetapi pada suatu saat, pengulangan CS-US
tidak menyebabkan penambahan kekuatan CR. Tingkat CR yang stabil ini disebut asimtot
kurve belajar.
Selain istilah-istilah ini, masih ada
istilah lain dalam classical conditioning, yaitu generalisasi stimulus
dan diskriminasi stimulus. Kecenderungan organisme memberi respon tidak hanya
pada stimulus yang dilatihkan, tetapi juga pada stimulus lain yang berhubungan,
disebut generalisasi.
Contohnya, seekor anjing yang dilatih
untuk mengeluarkan air liur dengan cara mendengar nada tertentu, maka setelah
berhasil dia juga mengeluarkan air liur, kalau mendengarkan nada yang lebih
tinggi atau lebih rendah. Hal ini berlawanan dengan yang terjadi dalam
diskriminasi, dalam diskriminasi, organisme hanya memberi respon pada stimulus
tertentu, sehingga tidak memberi respon pada stimulus yang lain, walaupun
stimulus tersebut berhubungan dangan stimulus sebelumnya. Untuk terjadinya
generalisasi atau diskriminasi, perlu ada latihan khusus yang berulang-ulang
dan berbeda-beda.
Pavlov dalam
penelitiannya juga dapat menciptakan conditioning tingkat tinggi, atau
disebut higher order conditioning, dengan cara sebagai berikut :
Setelah bunyi bel (CS) dapat menyebabkan
keluarnya air liur (CR) pada anjing, maka pada penelitian selanjutnya, sebelum
bel dibunyikan, dinyalakan terlebih dahulu lampu berkedip-kedip di dekat
anjing. Ketika lampu berkedip-kedip, anjing sudah mengeluarkan air liur
meskipun makanan belum disajikan. Kondisi tersebut digambarkan sebagai berikut:
1.
Lampu berkedip-kedip ( CS* ) + bunyi
bel ( CS ) ® air liur (CR).
2.
Lampu berkedip-kedip ( CS* ) ® air liur ( SR ).
5).
Penerapan teori conditioning dalam belajar.
Kalau mata pelajaran termasuk CS, sikap
guru termasuk US, dan respon siswa termasuk UR atau CR, maka akan terjadi hal
sebagai berikut :
1.
Mata pelajaran Matematika ( CS ) +
guru yang baik ( US ) ® siswa mempunyai respon positif
( UR ), yang berarti siswa senang pada cara guru mengajar matematika dengan
baik. Kalau hal ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi : mata pelajaran
Matematika (CS) ® siswa mempunyai respon positif terhadap mata pelajaran Matematika
(CR).
2.
Matematika (CS) + guru otoriter (US) ® respons siswa negatif (UR). Kalau hal
ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi hal sebagai berikut : mata
pelajaran matematika (CS) ® respons siswa terhadap mata pelajaran
matematika negatif (CR).
III. Teori belajar operant conditioning
Tokoh dari teori ini bernama Burrhus
Frederic Skinner, dan lebih terkenal dipanggil Skinner. Seperti Pavlov, Skinner
memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dengan respon,
tetapi Skinner memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang
dengan respon, tetapi Skinner membedakan dua macam respons, yaitu :
1)
Respons yang ditimbulkan oleh
perangsang tertentu dan disebut respondent respons. Jadi respon ini
timbulnya karena didahului perangsang tertentu. Perangsang seperti ini disebut eleciting
stimuli, dan hanya dapat menimbulkan respons secara relatif menetap.
Misalnya makanan hanya dapat menyebabkan keluarnya air liur.
2)
Respon yang timbul dan berkembang
diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Respons seperti ini disebut operant
respons atau instrumental respons. Perangsangnya disebut reinforcer,
karena perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh
organisme. Fokus teori Skinner pada jenis operant respon, sehingga teori
belajarnya disebut teori belajar operant conditioning.
a). Eksperimen dari Skinner
Skinner membuat eksperimen sebagai
berikut : dalam laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan,
dalam kotak yang disebut “Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan, yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang
dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive),
tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana
kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol. Banyaknya penekanan
per satuan waktu dihitung sebagai tingkat operant penekanan, sebelum terbentuk operant
conditioning. Keadaan ini disebut garis dasar (base line), atau level
operant. Pada saat itu belum ada makanan yang jatuh di tempat penampungan
makanan. Selanjutnya langkah-langkah eksperimen dilakukan sebagai berikut :
1)
Waktu tikus jauh dari tempat makanan,
eksperimenter menjatuhkan makanan pada penampung makanan dan tikus memakannya.
2)
Eksperimenter menjatuhkan makanan,
setelah tikus bergerak kian kemari.
3)
Eksperimenter menjatuhkan makanan,
setelah tikus mendekati tombol.
4)
Setelah tikus menginjak tombol, baru
ada makanan yang jatuh di penampungan makanan.
5)
Setiap tikus menginjak tombol, ada
makanan yang jatuh di penampungan makanan. Makin lama tikus makin sering
menginjak tombol.
Langkah-langkah seperti ini nampak
bahwa tikus mendapat segelintir makanan, secara bertahap. Mula-mula, walaupun
tikus masih jauh dari tombol, sudah diberi makanan, akan tetapi makin lama
makin dekat tombol, baru diberi makanan, dan selanjutnya setelah tikus menekan
tombol, baru ada makanan. Langkah seperti ini disebut pengarahan (shaping).
Apabila eksperimenter menyajikan
makanan hanya saat respons dilakukan pada waktu lampu menyala, dan hal ini
dilakukan berulang-ulang, maka tikus akan menekan tombol, hanya kalau lampu
menyala.
Eksperimen
selanjutnya, tikus tersengat aliran listrik waktu tikus menekan tombol,
maka akibatnya tikus tidak berani menekan tombol. Aliran listrik merupakan
hukuman (punishment), yang menyebabkan tikus untuk sementara waktu tidak
berani menekan tombol. Ternyata hukuman atau sering disebut pula sebagai negative
reinforcer, hanya menekan perilaku selama hukuman diberikan, jadi tidak
efektif dalam waktu yang lama. Maka Skinner tidak setuju adanya hukuman. Untuk
ini Skinner menganjurkan, agar lingkungan diubah, sehingga tidak perlu ada
hukuman.
Dalam eksperimen Skinner, dapat
terjadi extinction, yaitu penurunan frekwensi secara drastis dalam conditioning
respons, karena setelah beberapa kali tikus menekan tombol, tidak muncul
makanan selaku reinforcer. Tetapi apabila dalam jangka waktu tertentu
tikus menekan tombol lalu muncul makanan, maka terjadilah peningkatan conditioning
respons secara drastis. Proses seperti ini disebut spontaneous recovery,
dan terjadi tanpa ada latihan.
Skinner dalam eksperimennya, memberi
jadwal reinforcer sebagai berikut:
1)
Continuous reinforcer ( CRF )
2)
Fixed interval reinforcer ( FI )
3)
Fixed ratio reinforcer ( FR )
4)
Variabel interval reinforcer ( VI )
5)
Variable ratio reinforcer ( CR )
Keterangan mengenai jadwal pemberian
hadiah :
1)
Continuous reinforcer ( CRF ).
Dalam CRF, setiap respons ada
reinforcer / reward.
2)
Fixed interval reinforcer ( FI )
Setiap interval waktu tertentu, secara
fix diberi hadiah / reinforcer. Misalnya, setiap tiga menit, diberi hadiah,
sehingga interval waktunya sebagai berikut : 3 menit ¾ 6 menit ¾ 9 menit ¾ 12 menit dan seterusnya.
3)
Fixed ratio reinforcer (FR)
Pada FR, setiap perbandingan yang fix,
diberi hadiah. Misalnya, setiap tiga kali tikus menekan tombol, diberi hadiah
satu. Setiap enam kali tikus menekan tombol diberi hadiah dua kali lipat,
setiap tikus menekan tombol sembilan kali, diberi hadiah tiga kali lipat, dan
seterusnya.
4)
Variabel interval reinforcer ( VI )
pada VI, tiap waktu bermacam-macam,
diberi hadiah.
5)
Variabel ratio reinforcer ( CR ).
Pada CR, setiap berapa kali tidak
tentu, diberi hadiah. Jadi kadang-kadnag diberi hadiah dan kadang-kadang tidak
diberi hadiah dalam waktu yang tidak tentu.
Dari berbagai jadwal pemberian
reinforcer ini, ternyata kecepatan berespons paling tinggi, ialah VR, kemudian
FR, selanjutnya VI, berikutnya FI, dan yang paling tidak cepat ialah CRF.
b).
Penerapan teori Skinner dalam belajar
1.
Hasil belajar harus segera
diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2.
Proses belajar harus mengikuti irama
dari yang belajar.
3.
Materi pelajaran, digunakan sistem
modul.
4.
Dalam proses pembelajaran, lebih
dipentingkan aktivitas sendiri.
5.
Dalam proses pembelajaran, tidak
digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya
hukuman.
6.
Tingkah laku yang diinginkan pendidik,
diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable
rasio reinforcer.
7.
dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar siswa membaca buku di
perpustakaan dan mencatatnya dalam buku tulisnya, maka siswa diarahkan sebagai
berikut :
a)
Waktu pertama kali siswa datang di
perpustakaan, diberi hadiah berupa pujian, yang menyatakan bahwa siswa tersebut
rajin karena mau datang di perpustakaan.
b)
Waktu kedua kali siswa datang di
perpustakaan, didiamkan saja, tetapi setelah dia membuka-buka katalog, baru
diberi pujian.
c)
Waktu ketiga kalinya siswa datang di
perpustakaan, baru diberi pujian setelah dia menemukan buku yang diwajibkan
untuk dibawanya.
d)
Waktu keempat kalinya dia ke
perpustakaan, setelah siswa membaca buku tersebut, baru diberi pujian, bahwa
dia siswa yang rajin, mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar, dan
didoakan mudah-mudahan dalam ujian dapat mendapat nilai yang baik.
Demikian seterusnya, dan hadiah baru
diberikan kepada siswa apabila siswa main mendekati tujuan, dan akhirnya hadiah
baru diberikan, setelah siswa mencatat hasil bacaannya dalam buku tulisnya.
Hadiah dapat berupa nilai yang baik.
Langkah-langkah secara umum, dapat
dilakukan sebagai berikut :
a)
Ditentukan hadiah apa yang diberikan.
b)
Tugas yang akan dilakukan siswa
dianalisis, untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk
tingkah laku yang dimaksud. Selanjutnya komponen-komponen itu disusun dalam
urutan yang tepat untuk menuju tujuan.
c)
Kalau komponen pertama telah dilakukan
siswa, maka hadiahnya diberikan. Hal itu mengakibatkan komponen tersebut makin
sering dilakukan. Kalau hal ini sudah terbentuk, komponen ke dua yang diberi
hadiah. Komponen pertama tidak diberi hadiah. Demikian selanjutnya, sampai
tingkah laku yang diharapkan terbentuk.
3.
Teori Belajar Humanistik
Menurut
teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pelajar dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.Tujuan utama para pendidik ialah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada pada diri mereka.
Tokoh
penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik adalah Arthur Combs,
Abraham Maslow, dan Carl Rogers.
a.
Belajar
menurut Arthur Combs
Combs dan kawan-kawan menyatakan
apabila kita ingin memahami perilaku orang kita harus mencoba memahami dunia
persepsi orang tersebut sehingga apabila kita ingin merubah perilaku seseorang,
kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu. Perilaku
dalamlah yang membedakan seseorang dari yang lain.
Combs dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan
bahwa perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai motivasi untuk
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu, bisa jadi apabila guru itu memberikan aktivitas yang
lain, siswa akan memberikan reaksi yang positif.
Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, ialah :
1. pemerolehan informasi baru,
2. personalisasi informasi ini pada
individu.
Combs berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah
menyatu pada materi pelajaran itu, dengan kata lain individulah yang memberikan
arti kepada materi pelajaran itu.
Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti
bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungakannya dengan
kehidupannya (Gayne & Briggs, ).
Combs memberikan lukisan persepsi diri
dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat
satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan
besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari
persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal
yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b.
Belajar
menurut Maslow
Teori didasarkan atas asumsi bahwa
didalam diri kita ada dua hal:
(1) suatu usaha yang positif untuk
berkembang,
(2) kekuatan untuk melawan atau
menolak perkembangan itu(Maslow,1968).
Pada diri masing-masing orang
mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau
berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah
ia miliki dan sebagainya tetapi di sisi lainn seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, kearah kepercayaan
diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri
sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia menjadi tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan
pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan
yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
c.
Belajar
menurut Rogers
Menurut
Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu :
1).
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2).
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
3).
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang yang bermakna bagi siswa.
4).
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses
Dalam
bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip
dasar humanistik yang penting, di antranya ialah:
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar
secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila
materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud
sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam
persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk
ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri
ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari
luar itu semakin kecil.
e.
Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.
Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.
Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar atas inisiatif sendiri yang
melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan
cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama
jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan
penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar
yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.
Rangkuman :
1.
Belajar merupakan
suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan
tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena
adanya interaksi individu dengan lingkungannya.
2.
Belajar menurut teori belajar kognitif selalu didasarkan pada kognisi, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Dengan demikian tingkah laku seseorang bergantung kepada insight
terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
3. Belajar menurut teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya
interaksi antara stimulus dengan respons. Adapun akibat adanya interaksi antara
stimulus dengan respons, siswa mempunyai pengalaman baru, yang menyebabkan
mereka mengadakan tingkah laku dengan cara yang baru.
4. Menurut teori humanistik, tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik ialah membantu si
siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.
Soal :
1.
Bandingkan teori belajar kognitif,
behavioristik, dan humanistik !
2.
Buatlah contoh penerapan masing-masing
teori belajar tersebut dalam bidang pendidikan
!
Daftar
Pustaka :
Biggs, JB. 1985. The Role of
Metalearning Study Process. British Journal of Educational
Psychology.55.185-212
Depdikbud. 1982/1983. Materi dasar
pendidikan program bimbingan dan konseling, di Perguruan Tinggi, Buku IIC, Psikologi
Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.
Gulo,D. 1982. Kamus Psikologi.
Cetakan I. Bandung: Tonis
Muhibbinsyah. 1997. Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Irawan, P. Suciati, dan Wardani.1997. Teori
Belajar, Motivasi, dan Ketrampilan Mengajar, Jakarta : Depdikbud.
Reber,AS. 1988. The Penguin
Dictionary of Psychology. Ringwood Victoria. Penguin Books Australia Ltd.
Soemanto,W. 1998. Psikologi
Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta
Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan.
1997. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : UPP IKIP Yogyakarta.
Tuti Sukamto dan Udin Saripudin
Winataputra, 1995. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta :
Depdikbud.
BAB IV
P E M B E L A J A R
A N
Tujuan Mempelajari
Pokok bahasan ini secara umum :
Mahasiswa
mampu menjelaskan hakekat pembelajaran, mendiskripsikan prinsip-prinsip
pembelajaran, mendiskripsikan metode pembelajaran, dan menjelaskan sistem serta
pendekatan pembelajaran
A.
Hakekat
Pembelajaran
Dalam hal
belajar peran guru adalah membelajarkan siswa untuk belajar. Dengan kata lain
guru adalah subjek pembelajar siswa. Belajar yang dilakukan oleh siswa berkaitan
erat dengan usaha pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Peran guru dalam kegiatan pembelajaran sangat
penting lebih-lebih bila para peserta didik kurang menyadari arti pentingnya
belajar bagi masa depannya. Pembelajaran merupakan salah satu faktor yang
sangat strategis dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Guru
bertugas untuk menyusun program
pembelajaran yang menguntungkan bagi proses belajar peserta didik.
Dewasa ini
dalam hal pembelajaran selalu dikaitkan dengan konstruktivisme. Konstruktivisme
menjadi kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan mengenai pembelajaran. Para
ahli konstruktivisme menekankan pentingnya upaya-upaya untuk mengaktifkan
struktur kognitif siswa agar dapat membangun makna dari apa yang dipelajari.
Battencourt (Paulina Pannen dkk, 2001) menyatakan bahwa konstruktivisme
meruapkan salah satu akiran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang
terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang (peserta didik). Filsafat
Konstruktivisme menjadi landasan bagi banyak strategi pembelajaran, terutama
yang dikenal dengan nama student-centered learning, belajar yang
berorientasi pada peserta didik, yang mengutamakan keaktifan peserta didik
dalam mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman
belajar yang diperoleh dan atau difasilitasi pendidik.
Proses
belajar yang merupakan proses internal
peserta didik adalah sesuatu yang tidak dapat diamati, namun dapat
dipahami oleh guru. Perilaku belajar tersebut merupakan respon peserta didik
terhadap tindak pembelajaran guru. Kaitan antara belajar dan pembelajaran
sangat erat. Guru seyogyanya merancang acara pembelajaran sesuai dengan
fase-fase perkembangan siswa. Di samping itu guru selalu berusaha untuk
melakukan perbaikan pembelajaran secara berkelanjutan, artinya bahwa proses
pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya harus selalu disesuaikan dengan
kemajuan-kemajuan atau perubahan-perubahan yang terjadi. Cara-cara yang
diusulkan untuk terus menerus melakukan perbaikan proses pembelajaran untuk guru adalah melalui
penelitian tindakan kelas. Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang
terkait erat. Bila teori belajar menerangkan bagaimana terjadinya belajar maka
teori pembelajaran menerangkan bagaimana
pembelajaran bisa mempermudah terjadinya belajar .
Lefrancois (1972:129) menyatakan
bahwa pembelajaran atau instruction : as the arrrangement of the learning
situation in such a way that learning is facilitated. Selanjutnya Gagne
melihat dua hal penting tentang arrangement of the learning situation
yaitu yang melibatkan management of
learning dan yang melibatkan condition of learning. Yang pertama menjawab pertanyaan tentang
motivasi, minat dan perhatian, evaluasi hasil belajar, dan laporan tentang
hasil. Pertanyaan ini secara relatif tidak tergantung dari isi yang dipelajari
atau syarat yang diperlukan untuk belajar. Pelaksanaan condition of learning
melibatkan prosedur yang erat berkaitan dengan isi (content) .
Menurut
Bettencourt (dalam Paulina Pannen dkk,
2001) bagi konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari pendidik kepada peserta
didik melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun
sendiri pengetahuannya. Pembelajaran berarti partisipasi pendidik bersama
peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan,
bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi pembelajaran adalah bentuk
belajar sendiri. Tugas pendidik adalah membantu peserta didik agar mampu
mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret.
Pembelajaran pada dasarnya suatu proses
kegiatan guru yang ditujukan kepada siswa dalam menyampaikan pesan berupa
pengetahuan, sikap dan keterampilan
serta membimbing dan melatih agar siswa belajar. Dengan demikian guru
harus menciptakan suatu kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses
belajar. Guru melakukan kegiatan pembelajaran atau membelajarkan siswa
sedangkan siswa melakukan kegiatan belajar.
B. Prinsip-prinsip pembelajaran
Menurut Piaget (Dimyati & Mudjiono, 1994
: 13-14), pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut :
1.
Langkah
satu : menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri. Penentuan
topik tersebut dibimbing dengan beberapa pertanyaan, seperti berikut :
a.
Pokok
bahasan manakah yang cocok untuk eksperimentasi ?
b.
Topik
manakah yang cocok untuk pemecahan masalah dalam situasi kelompok ?,
c.
Topik
manakah yang dapat disajikan pada tingkat manipulasi fisik sebelum secara
verbal ?.
2.
Langkah dua : memilih atau mengembangkan aktivitas
kelas dengan topik tertentu. Hal ini dibimbing dengan pertanyaan seperti :
a.
apakah
aktivitas itu memberi kesempatan untuk melaksanakan metode eksperimen ?.
b.
dapatkah
kegiatan itu menimbulkan pertanyaan siswa ?.
c.
dapatkah
siswa membandingkan berbagai cara bernalar dalam mengikuti kegiatan di kelas ?.
d.
apakah
masalah tersebut merupakan masalah yang tidak dapat dipecahkan atas dasar
pengisyaratan perseptual?.
e.
apakah aktivitas itu dapat menghasilkan aktivitas
fisik dan kognitif?.
f.
Dapatkah
kegiatan siswa itu memperkaya konstruk yang sudah dipelajari
3.
Langkah
tiga : mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan
yang menunjang proses pemecahan masalah ? Bimbingan prtanyaan berupa :
a.
pertanyaan
lanjut yang memancing berfikir seperti “bagaimana jika “ ?.
b.
memperbandingkan materi apakah yang cocok untuk menimbulkan
pertanyaan spontan ?.
4.
Langkah
empat : menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan dan
melakukan revisi. Bimbingan pertanyaan seperti :
a.
segi
kegiatan apakah yang mengahsilkan minat dan keterlibatan siswa yang besar ?.
b.
segi
kegiatan manakah yang tak menarik, dan apakah alternatifnya ?.
c.
apakah
aktivitas itu memberi peluang untuk mengembangkan siasat baru untuk penelitian
atau meningkatkan siasat yang sudah dipelajari ?.
d.
apakah
kegiatan itu dapat dijadikan modal pembelajaran lebih lanjut ?.
Secara
singkat Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri
kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi. Dalam hal pemebelajaran yang
perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa bagaimana agar siswa sebagai subjek
dapat belajar. Guru tugasnya menyediakan kemudahan agar siswa mudah belajar. Titik beratnya pada siswa. Pembelajaran
berorientasi pada siswa, bukan pada
guru. Bagaimana pembelajaran mempermudah terjadinya belajar ?.
Guru perlu memahami teori dan
prinsip-prinsip belajar yang kemudian digunakan untuk menentukan prosedur
pembelajaran. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan
prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat.
Jerome Bruner (1960) mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan
menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas.
Menurut pandangan Bruner, teori belajar itu
bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif. Beberapa
prinsip belajar menjadi dasar tindak pembelajaran. Dengan kata lain
prinsip-prinsip belajar merupakan patokan tindak pemebalajaran guru, atau
prinsip-prinsip belajar memiliki implikasi kuat bagi tindak pemeblajharan guru.
Menurut
Dimjati dan Mudjiono, (1994: 56-60), terdapat 7 prinsip-prinsip belajar yang
kemudian berimplikasi pada
prinsip-prinsip pembelajaran yaitu : (1). Perhatian dan motivasi; (2).
Keaktifan; (3) Keterlibatan langsung (berpengalaman); (4). Pengulangan; (5).
Tantangan; (6). Balikan dan Penguatan; dan (7). Perbedaan Individual.
1.
Perhatian
dan Motivasi
Guru harus
merancang tindak pembelajaran untuk membangkitkan perhatian dan motivasi
belajar siswa . Cara-cara yang dapat ditempuh untuk membangkitkan perhatian
siswa diantaranya :
- Metode
penyampaian yang bervariasi, tidak monoton
- Penggunaan
media yang sesuai dengan tujuan belajar
- Penggunaan gaya bahasa yang segar
- Mengemukakan
pertanyaan- pertanyaan
Untuk
membangkitkan motivasi dapat dilakukan antara lain dengan :
- Memilih
contoh-contoh yang relevan dengan siswa
- Menghargai
pendapat siswa
- Menghindari
komentar negatif kepada siswa
- Menempatkan
siswa sebagai subjek yang memiliki potensi
- Memberikan
hadiah kepada siswa yang menunjukkan prestasi
- Memberi
tahukan hasil nilai ulangan kepada
siswa sesegera mungkin.
2. Keaktifan
Guru
berupaya untuk memberi kesempatan yang mendorong siswa untuk aktif, baik aktif
mencari, mempross dan mengelola perolehan belajarnya. Untuk tujuan ini guru
dapat melakukan :
a.
Membuka
kesempatan untuk bertanya kepada para siswa
b.
Merespon
secara positif semua pertanyaan siswa
c.
Memberikan
tugas-tugas secara individual maupun kelompok
d.
Mendiskusikan
bersama hasil dari tugas-tugas tersebut
3.
Keterlibatan
langsung / mengalami
Keaktifan
siswa pada dasarnya adalah keterlibatan siswa secara langsung baik fisik,
mental-emosional dan intelektual dalam kegiatan pembelajaran. Untuk tujuan ini
guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang :
a.
melibatkan
secara langsung siswa baik secara individual maupun kelompok
b.
menciptakan
peluang yang mendorong siswa untuk melakukan eksperimen
c.
mengikutsertakan
siswa atau memberi tugas kepada siswa untuk memperoleh informasi dari sumber
luar kelas atau sekolah.
d.
Melibatkan
siswa dalam merangkum atau menyimpulkan pesan pembelajaran.
4.
Pengulangan
Implikasi
dari pengulangan ini adalah guru diharapkan mampu memilahkan kegiatan
pembelajaran yang berisi pesan yang membutuhkan pengulangan dan yang tidak
membutuhkan pengulangan. Pengulangan diperlukan terutama pada pesan-pesan
pembelajaran yang memang harus dihafalkan dan tidak boleh salah, pesan-pesan
yang membutuhkan latihan. Implikasi dari prinsip pengulangan ini menuntut guru
untuk :
a.
merancang
pelaksanaan pengulangan
b.
mengembangkan/merumuskan
soal-soal latihan
c.
mengembangkan
petunjuk kegiatan psikomotorik yang harus diulang
d.
mengembangkan
alat evaluasi kegiatan pengulangan
e.
merancang kegiatan pengulangan yang bervariasi.
5.
Tantangan
Implikasi
dari prinsip ini adalah guru perlu mencipatakan situasi pembelajaran yang
menantang siswa. Tantangan dalam kegiatan pembelajaran dapat diwujudkan oleh
guru melalui bentuk kegiatan, bahan dan alat pembelajaran. Untuk tujuan ini
perilaku guru yang dibutuhkan adalah :
a.
merancang
kegiatan eksperimen bagi siswa yang dilakukan baik secara individual maupun
kelompok
b.
memberikan
tugas pemecahan masalah yang membutuhkan informasi yang harus dicari sumbernya
baik dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
c.
Mengembangkan
bahan pembelajaran yang memancing siswa
untuk melakukan pengayaan dan penelusuran lebih lanjut.
d.
Menciptakan
situasi yang merangsang siswa untuk menemukan fakta, konsep, prinsip-prinsip
generalisasi sendiri.
6.
Balikan
dan Penguatan
Prinsip ini mengandung implikasi
bahwa guru perlu memberikan balikan dan penguatan sesuai karakteristik siswa.
Untuk tujuan ini perilaku guru antara lain:
a.
Memberikan
komentar positif dan mendiskusikan jawaban-jawaban siswa
b.
Mengembalikan
hasil pekerjaan siswa dengan berbagai catatan penting
c.
Memberikan
hadiah / respon positif kepada siswa
yang menunjukkan prestasi
7.
Perbedaan
Individual
Siswa
memiliki ciri khas individual yang membedakan antara satu siswa dengan siswa
lainnya. Kondisi ini perlu disadari oleh
guru, bahwa yang dihadapi adalah berbagai keunikan individual dan perlu
mendapat layanan. Guru perlu memberikan layanan sesuai dengan karakteristik
individual siswa. Untuk tujuan ini guru perlu merancang kegiatan pemebelajaran,
diantaranya :
a.
Menggunakan
berbagai metode pembelajaran guna melayani kebutuhan siswa sesuai dengan
karakternya
b.
Memanfaatkan
berbagai media dalam menyajikan pembelajaran
c.
Mengenali
karakteristik setiap siswa, sehingga dapat menentukan perlakuan pembelajaran
yang tepat bagi siswa yang bersangkutan
d.
Memberikan
kesempatan remidiasi ataupun pengayaan kepada siswa yang membutuhkan.
C.
Metode
Pembelajaran
Menentukan bagaimana cara-cara
pembelajaran yang baik bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak penelitian yang
telah digunakan oleh para ahli psikologi untuk menentukan cara-cara
pembelajaran yang baik. Metode dan teknik pembelajaran adalah cara yang di
dalam fungsinya merupakan alat untuk
mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Operasionalisasi dari satu atau lebih
metode-metode pembelajaran direalisasikan dalam kegiatan pembelajaran
berdasarkan strategi pembelajaran yang telah ditetapkan.
Dalam bab ini dibicarakan beberapa
metode yang dapat dipergunakan, yaitu :
1.
Metode Ceramah
Metode ini sudah banyak dan sering
dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran. Ceramah merupakan penjelasan yang
disampaikan secara verbal (Saputro, 2000). Dalam menyampaikan informasi dengan
melalui ceramah ini diperlukan ketrampilan untuk menjangkau tujuan
pembelajaran. Adapun empat ketrampilan yang diperlukan dalam menggunakan metode
ceramah ini menurut Saputro (2000) meliputi empat hal :
a.
Kejelasan
Bahasa yang dipergunakan dalam
menyampaikan informasi baik dari segi kata-kata maupun volume suara hendaknya
jelas dan disesuaikan dengan perkermbangan serta kemampuan siswa.
b.
Penggunaan Contoh
Pemahaman siswa tentang suatu hal
perlu ditingkatkan dengan pemberian contoh-contoh tentang situasi yang dapat
dialami dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Penekanan
Selama memberikan penjelasan hendaknya
memusatkan perhatian siswa pada masalah yang penting dan mengurangi informasi
yang tidak penting.
d.
Pemberian Umpan Balik
Pemberian umpan balik ini dilakukan
dengan memberi kesempatan siswa untuk bertanya dan menjawab pertanyaan untuk
memberikan pemahaman dan penjelasan dari hal-hal yang mungkin masih membingungkan.
2.
Metode Tanya Jawab
Metode
tanya jawab adalah metode pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan kepada
siswa. Pertanyaan tersebut merupakan perangsang yang baik dalam pemahaman suatu
informasi.
Dalam
menguasai seni bertanya , diperlukan empat ketrampilan bertanya, yaitu :
a.
Kemampuan berpikir cepat dan
jelas
b.
Pengertian yang tajam tentang
nilai relatif dalam menangani pertanyaan dan tanggapan siswa.
c.
Ketrampilan membuat kalimat
bertanya
d.
Percaya diri
3.
Metode Diskusi
Pembelajaran yang menggunakan metode
diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif. Ketika salah satu
siswa menyampaikan informasi tertentu, maka yang lain mendengarkan. Dalam
diskusi ini diperlukan keaktifan siswa. Ada tiga tujuan pembelajaran yang
sesuai dengen penggunaan metode diskusi, yaiyu :
a.
penguasaaan materi pembelajaran
b.
pembentukan dan modifikasi
sikap
c.
pemecahan masalah
4.
Metode Kerja Kelompok
Metode
pembelajaran dengan kerja kelompok merupakan pemecahan masalah dan penyelesaian
tugas dengan melalui proses kelompok. Metode ini seringkali didahului degan
diskusi, untuk itu diperlukan kerja sama dan komunikasi yang baik agar
penyelesain tugas dapat tercapai.
5.
Metode Simulasi
Simulasi
adalah tiruan yang hanya pura-pura saja (Saputro, 2000). Metode simulasi ini
biasa dilakukan untuk melatih ketrampilan tertentu dan memperoleh pemahaman
tentang sesuatu konsep tertentu. Bentuk simulasi ini misalnya role playing,
sosiodrama dan permainan.
6.
Metode Demonstrasi
Metode
demostrasi merupakan metode yang dilakukan untuk memperlihatkan cara kerja dan
proses terjadinya sesuatu. Metode ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang lebih baik atas pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana cara mengaturnya,
bagaimana proses bekerjanya, bagaimana proses mengerjakannya dan lain-lain.
7.
Metode Tugas
Dalam meningkatkan pemahaman siswa
tentang sesuatu hal, perlu dilakukan dengan pemberian tugas atau pekerjaan
tertentu. Pemberian tugas tersebut dilakukan dengan maksud tertentu misalnya
melatih analisa siswa tentang pelajaran tertentu, memecahkan masalah,
mengklasifikasi masalah dan sebagainya.
g.
Pendekatan
Pembelajaran
Pada dasarnya belajar dapat
dilakukan di mana saja. Saat ini informasi dapat diterima dengan mudah melalui
media-media tertentu sebagai sumbernya, misalnya radio, televisi, film, surat kabar,
majalah dan lain.lain. Pesan-pesan yang diperoleh melalui informasi yang
diterima tadi perlu pengetahuan dan ketarmpilan dalam mengelolanya. Untuk itu,
perlu pemahaman mengenai pendekatan-pendekatan belajar dalam membelajarkan
siswa. Pendekatan pembelajaran ini merupakan suatu panutan yang berusaha
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa daklam
pengolahan pesan, sehingga ter capai sasaran belajar.
Ada empat
macam tinjauan pendekatan pembelajaran, yaitu :
1.
Pengorganisasian
Siswa
Pendekatan
pembelajaran ini dapat dilakukan dengan melalui :
a.
Pembelajaran
secara Individual
Pembelejaran secara individual ini
merupakan kegiatan mengajar yang menitikberatkan bantuan dan bimbingan kepada
masing-masing individu. Pembelajaran dengan sistem ini bertujuan untuk :
1)
Memberi
kesempatan siswa untuk belajar sesuai dengan kemampuan sendiri.
2)
Mengembangkan
kemampuan individu secara optimal
b.
Pembelajaran
secara Kelompok
Dalam kegiatan pembelajaran seringkali dibentuk kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 3 – 8 orang. Dalam pembelajaran ini, bantuan dan
bimbingan diberikan pada kelompok secara lebih intensif. Adapun tujuan
pembelajaran secara kelompok ini adalah :
1)
Mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah
2)
Mengembangkan sikap sosial
3)
Menciptakan kegiatan kelompok
yang dinamis
4)
Mengembangkan kepemimpinan
c.
Pembelajaran
secara Klasikal
Pembelajaran dengan sisten klasikal
merupakan kegiatan yang paling efisien, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan
kemampuan guru yang utama. Pembelajarn kelas ini berarti melaksanakan dua
kegiatan sekaligus, yaitu :
1)
Pengelolaan
kelas
Pengelolaan kelas ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kelas
yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Masalah
pengelolaan kelas dapat bersumber pada kondisi tempat belajar dan siswa yang
terlibat dalam belajar.
2)
Pengelolaan
pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran bertujuan untuk mencapai tujuan belajar.
Selain penyusunan disain instruksional, maka pengelolaan pembelajaran dapat
dilakukan dengan tindakan seperti membuat tata tertib kelas, menciptakan
suasana senang dalam belajar, memusatkan perhatian pada bahan ajar,
mengikutsertakan siswa belajar aktif dan pengorganisasian belajar siswa sesuai
dengan kondisinya.
2.
Posisi
Guru Siswa dalam Pengolahan Pesan
Dalam kegiatan pembelajaran, guru berusaha menyampaikan pesan kepada
siswa. Pesan tersebut berupa pengetahuan, wawasan atau ketrampilan tertentu.
Penyampaian pesan oleh guru ini berupa :
a.
Strategi
Ekspository
Model
pengajaran ekspository merupakan kegiatan mengajar yang terpusat pada
guru. Dalam hal ini guru aktif menyampaikan pesan. Tujuan utama dalam
pengajaran ekspository adalah memindahkan pengetahuan, ketarmpilan dan
nilai-nilai tertentu kepada siswa.
b.
Strategi
Inkuiri (Inquiry) & Discovery
Model
pengajaran ini merupakan pengajaran yang mengharuskan siswa mengolah pesan
sehingga memperoleh pengetahuan, ketarmpilan dan nilai-nilai. Dalam model ini,
siswa dirancang untuk terlibat dalam proses pengajaran. Adapun tujuan dari
model pengajaran inkuiri adalah mengembangkan ketrampilan intelektual, berpikir
kritis dan pemecahan masalah.
3.
Pencapaian
Kemampuan dalam Pembelajaran
Siswa yang belajar diharapkan akan mengalami perubahan. Perubahan
tersebut dapat meningkatkan kemampuan mental seperti ranah kognitif, afektif
dan psikomotorik. Kemampuan-kemampuan yang dicapai dalam pembelajaran adalah
tujuan pembelajaran. Namun seringkali ada kesenjangan antara kemampuan sebelum
belajar dengan kemampuan yang akan dicapai. Kesenjangan tersebut dapat diatasi
dengan belajar bahan ajar tertentu.
4.
Pengolahan Pesan
Perolehan pengalaman dalam meningkatkan jenis ranah bagi tiap-tiap
siswa berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh proses pengolahan pesan. Ada dua
jenis pengolahan pesan, yaitu :
a.
Pengolahan secara
b.
Deduktif
Pengolahan pesan dengan cara ini dimulai dengan mengemukakan
generalisasi oleh guru, kemudian dilajutkan dengan menjelaskan konsep-konsep
dan mencari data yang dilakukan siswa.
c.
Pengolahan secara Induktif
Pengolahan pesan induktif ini dimulai dengan penyampaian fakta-fakta
khusus, kemudian penyusunan konsep beradasrkan fakta-fakta tersebut, penyusunan
generalisasi berupa hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.
Rangkuman
1.
Pembelajaran berarti
partisipasi pendidik bersama peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, encari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Tugas
pendidik adalah membantu peserta didik sehingga mampu mengkonstruksi
pengetahuannya sesuai dengan situasi yang kongkrit.
2.
Secara singkat Piaget
menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan
prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi. Dalam hal pembelajaran yang perlu
mendapatkan perhatian adalah bagaimana
agar siswa sebagai subjek dapat belajar. Guru tugasnya menyediakan kemudahan
agar siswa mudah belajar. Titik beratnya pada siswa. Pembelajaran berorientasi
pada siswa, bukan pada guru. Pembelajaran diharapkan dapat mempermudah terjadinya belajar.
3.
Menurut Dimjati dan Mudjono
(1994) terdapat 7 prinsip pembelajaran, yaitu: 1) perhatian dan motivasi, 2)
keaktifan, 3) keterlibatan langsung (berpengalaman), 4) pengulangan, 5)
tantangan, 6) balikan dan penguatan, dan 7) perbedaan individual.
4.
metode pembelajaran ada
berbagai variasi antara lain : ceramah, kerja kelompok, simulasi, demonstrasi,
dan tugas.
5.
Pendekatan pembelajaran
meliputi pengorganisasian siswa, posisi guru dalam pengolahan pesan, pencapaian
kemampuan dalam pembelajaran, dan pengolahan pesan.
Latihan
1.
Apa makna pembelajaran
a.
bagi pendidik
b.
bagi siswa
2.
Jelaskan prinsip pembelajaran
menurut Piaget !
3.
Sebutkan dan jelaskan variasi
dalam metode pembelajaran !
G. Sumber :
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar
dan Pembelajaran. Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu
Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Gredler, Margareth E. Bell.1991. Belajar
dan Pembelajaran. Penerjemah : Munandir., Jakarta.: CV Rajawali.
Lefrancois, Guy R. 1972. Psychology
for Teaching, A Bear Always Faces the Front. Belmont, California :
Wadsworth Publishing Company, Inc.
Paulina
Pannen, Dina Mustafa dan Mustika
Sekarwinahyu, 2001.Konstruktivisme
Dalam Pembelajaran. Proyek Pengembangan
Universitas Terbuka, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Saputro, Suprihadi. (2000). Strategi
Pembelajaran. Depdiknas, UNM FIP.
BAB
V
PENGUKURAN
DAN PENILAIAN HASIL BELAJAR
Tujuan
Instruksional :
Setelah
mahasiswa atau pernbaca mempelajari Bab V tentang pengukuran dan penilaian
hasil belajar, diharapkan dapat memahami konsep tentang pengukuran dan
penilaian hasil belajar, fungsi evaluasi, sifat evaluasi, prinsip‑prinsip
evaluasi dan macam‑macarn alat evaluasi.
A. Pengertian
Pengukuran dan Penilaian
Dalam kehidupan sehari‑hari antara
pengertian pengukuran dan penilaian sering dicampuradukkan oleh banyak orang.
Hal itu terjadi karena mereka banyak yang belum memahami apa itu pengukuran dan
penilaian. Karena itu pada bagian ini akan dikemukakan pengertian pengukuran
dan penilaian.
Menurut
Sutrisno Hadi (1997) pengukuran dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk
mengidentifikasikan besar‑kecilnya gejala. Sedang menurut Remmers dkk (1960)
memberikan rumusan sebagai berikut : 'Measurement'
berasal dari kata "to
measure" yang berarti suatu kegiatan atau proses untuk menetapkan
dengan pasti luas, dimensi dan kuantitas dari sesuatu dengan cara membandingkan
terhadap ukuran tertentu. Di samping itu ada yang mengartikan pengukuran
sebagai usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu sebagaimana adanya, pengukuran
dapat berupa pengumpulan data tentang sesuatu.
Hasil pengukuran dapat berupa angka
atau uraian tentang kenyataan yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas
dan eksistensi keadaan yang diukur. Namun demikian, hasil pengukuran itu
sendiri belum dapat mengatakan apa‑apa kalau hasil pengukuran tersebut tidak
ditafsirkan dengan jalan membandingkan dengan suatu patokan atau norma atau
kriteria tertentu.
Dalarn kegiatan belajar mengajar,
pengukuran hasil belajar dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan
tingkah laku siswa setelah menghayati proses belajar. Maka pengukuran yang
dilakukan guru lazimnya menggunakan tes sebagai alat pengukur. Hasil pengukuran
tersebut berwujud angka ataupun pemyataan yang mencerminkan tingkat penguasaan
materi pelajaran bagi para siswa, yang lebih dikenal dengan prestasi belajar. Contoh:
Untuk mengungkap kemarnpuan belajar siswa tentang maternatika, dipergunakan tes
maternatika yang terdiri 10 butir soal, setiap butir soal yang dijawab benar
diskor 1. Hasil yang diperoleh sebagai berikut:
Anik mendapat skor 7 Dedi
mendapat skor 6
Beni mendapat skor 4
Ema
mendapat skor 5
Cica mendapat skor 10 Fani
mendapat skor 6
Langkah ini merupakan kegiatan
pengukuran. Skor 7, 4, 10 , 6, 5, dan 6 di atas, merupakan hasil pengukuran.
Penilaian adalah suatu tindakan untuk memberikan
interpretasi terhadap hasil pengukuran
dengan menggunakan norma tertentu untuk mengetahui tinggi‑rendahnya atau baik‑buruknya
aspek tertentu. Hasil pengukuran tidak akan dapat dinilai jika tanpa menggunakan
norma tertentu. Jadi semua usaha membandingkan hasil pengukuran terhadap suatu
bahan pembanding atau patokan atau norma disebut penilaian.
Seperti halnya contoh hasil
pengukuran di atas, tidak ada artinya bila tidak dibandingkan dengan norma
tertentu untuk memberikan penilaian. MisaInya dari hasil pengukuran tersebut diatas
untuk memberikan penilaian dipergunakan norma yaitu skor 6. Skor 6 ini untuk
menetapkan baik-buruknya atau tinggi-rendahnya kemampuan menguasai mata
pelajaran matematika. Adapun hasil penilaiannya sebagai berikut:
Anik termasuk anak cukup pandai, Beni
termasuk anak bodoh, Cica termasuk anak sangat pandai, Dedi dan Fani termasuk
anak sedang, Ema termasuk anak kurang pandai. Sangat pandai, cukup pandai,
sedang, kurang pandai dan bodoh merupakan hasil penilaian. Skor di atas norma
dinilai baik atau tinggi sedang di bawah norma dinilai kurang atau rendah. Jadi
apabila kita akan mengadakan penilaian, maka kita harus mernpunyai norma
sebagai pembanding terhadap hasil pengukuran.
Berbicara mengenai masalah norma,
secara garis besar ada dua macam norma yaitu norma abstrak dan norma konkrit.
Norma abstrak adalah norma yang hanya ada pada benak si penilai, sehingga tidak
dapat diketahui oleh orang lain. Sedang norma konkrit adalah norma nyata yang
dapat diamati oleh orang lain dan dapat dipergunakan oleh orang lain pula.
Selanjutnya norma konkrit ada dua macam yaitu norma ideal dan norma kelompok
atau rerata. Norma ideal adalah skor maksimal sebagal patokan atau norma,
sedang norma kelompok ditentukan berdasarkan hasil rerata skor pengukuran.
Dalam bidang pendidikan, untuk mengetahui
tingkat kemampuan sesuatu bagi siswa dapat dipergunakan:
1.
Angka
atau skor yang diperoleh kawan sekelasnya.
2.
Batas
penguasaan kompetensi terendah yang harus dicapai untuk dapat dianggap lulus
(batas lulus)
3.
Prestasi
anak itu sendiri di masa lampau
4.
Kemampuan dasar anak itu
sendiri.
Kaitannya dengan keseluruhan
strategi dan proses belajar mengajar, biasanya norma yang dipergunakan dalam
rangka usaha penilaian adalah hal-hal yang diturunkan dari tujuan-tujuan
pengajaran yang ingin dicapai melalui pengajaran. Norma tersebut dikenal dengan
istilah Penilaian Acuan Norma (Norm Reference Evaluation) dan Penilaian
Acuan Patokan ( Criterion Reference Evaluation).
1 . Penilaian Acuan
Norma (PAN)
Penilaian Acuan Norma. disebut juga
Penilaian Acuan Relatif atau Penilaian Acuan Kelompok, yaitu penilaian yang
dilakukan dengan membandingkan hasil belajar seorang siswa terhadap hasil
belajar siswa lainnya dalarn kelompok. Patokan ini dapat dikatakan sebagai
patokan apa adanya dalam arti bahwa patokan pembanding semata-mata diambil dari
kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran berlangsung.
Penilaian Acuan Norma
pada dasarnya menggunakan kurve normal dan hasil perhitungannya sebagai dasar
penilaian. Dua kenyataan yang ada dalam kurve normal yang dipakai untuk
membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing-masing siswa yaitu
angka rerata (mean) dan angka simpang baku (standard deviation). Patokan
ini bersifat relatif karena dapat berubah-ubah atau dapat bergeser ke atas atau
ke bawah sesuai dengan besamya dua kenyataan yang diperoleh di dalam kurve
normal itu. Karena itu patokan ini disebut Penilaian Acuan Relatif, dan
dikatakan juga sebagai Penilaian Acuan Kelompok karena yang dijadikan
pembanding bergantung kepada hasil yang dicapai oleh kelompok yang dijadikan
sasaran. Penetapan norma ini dilakukan setelah diadakan pengukuran, karena
norma yang ditetapkan sangat bergantung hasil pengukuran pada suatu saat.
2. Penilaian Acuan
Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan artinya penilaian yang dilakukan dengan
membandingkan hasil belajar siswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa sebelum usaha atau kegiatan
penilaian dilakukan, terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai
untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai arti
tertentu.
Patokan yang telah ditetapkan sebelum pengukuran atau penilaian
dilakukan biasanya disebut "batas lulus" atau "tingkat
penguasaan minimum'. Dengan demikian siswa yang dapat mencapai batas lulus
dapat menempuh atau mempelajari bahan selanjutnya, begitu pula sebaliknya bagi
siswa yang belum mencapai skor batas lulus agar memantapkan belajarnya sehingga
akhimya lulus.
B. Fungsi Evaluasi
Suryabrata (1986) menjelaskan
fungsi evaluasi hasil belajar meliputi :
1.
Fungsi Psikologis, yaitu agar
siswa memperoleh kepastian tentang status di dalam kelasnya. Di samping itu,
bagi guru merupakan suatu pertanggungjawaban sampai seberapa jauh usaha
mengajamya dikuasai oleh siswa-siswanya.
2.
Fungsi Didaktis, bagi anak
didik, keberhasilan maupun kegagalan belajar akan berpengaruh besar pada
usaha-usaha berikutnya. Sedang bagi pendidik, penilaian hasil belajar dapat
menunjukkan keberhasilan atau kegagalan
mengajarnya termasuk di dalamnya metode mengajar yang dipergunakan.
3.
Fungsi
Administratif, dengan adanya penilaian dalam bentuk rapor akan dapat dipenuhi
berbagai fungsi administratif yaitu:
a. Merupakan inti laporan kepada
orang tua siswa, pejabat, guru dan siswa itu sendiri.
b. Merupakan data bagi siswa
apabila ia akan naik kelas, pindah sekolah, maupun untuk melamar pekerjaan.
c. Dari data tersebut kemudian
dapat berfungsi untuk menentukan status anak dalam kelasnya.
d. Memberikan informasi mengenai
segala hasil usaha yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan.
Wuradji (1974)
mengemukakan fungsi evaluasi ke dalam tiga golongan yaitu:
1 . Fungsi evaluasi
hasil belajar untuk kepentingan murid
a. Untuk mengetahui kemajuan belajar
b. Dapat dipergunakan sebagai dorongan (motivasi)
belajar
c. Untuk memberikan pengalaman dalam belajar.
2. Fungsi evaluasi
hasil belajar untuk kepentingan pendidik
a. Untuk menyeleksi
murid yang selanjutnya berguna untuk meramalkan keberhasilan studi berikutnya.
b. Untuk mengetahui
sebab-sebab kesulitan belajar murid, yang selanjutnya berguna untuk memberikan
bimbingan belajar kepada murid.
c. Untuk pedoman mengajar
d. Untuk mengetahui ketepatan
metode mengaiar.
e. Untuk menempatkan
murid dalam kelas (ranking, penjurusan, kelompok belajar dan lainnya).
3.
Fungsi
evaluasi hasil belajar untuk kepentingan organisasi atau lembaga pendidikan :
a. Untuk mempertahankan standar pendidikan
b. Untuk
menilai ketepatan kurikulum yang disediakan
c. Untuk menilai kemajuan sekolah yang bersangkutan.
Berikut ini akan dikemukakan
tentang tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan yang berkaitan dengan
perencanaan, pengelolaan kelas, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.
Menurut Thorndike dan Hagen (1961), tujuan
dan kegunaan penilaian pendidikan dapat diarahkan dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut:
1 . Pengajaran
2. Hasil belajar
3. Diagnosis dan usaha
perbaikan
4. Penempatan
5. Seleksi
6. Bimbingan dan
konseling
7. Kurikulum
8.Penilaian
kelembagaan.
C. Sifat Evaluasi
Dalam aktivitas pendidikan kita
banyak bergelut dengan hal-hal yang bersifat abstrak seperti sikap, minat,
bakat, kepandaian dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Untuk mengetahui,
mengungkap, atau menilai hal-hal tersebut harus menggunakan instrumen yang
sesuai dengan hal yang akan diungkap. Karena penilaian pendidikan banyak
berkaitan dengan hal-hal yang abstrak, maka penilaian pendidikan bersifat:
1 . Tidak langsung (Indirect)
Untuk mengetahui kemampuan matematika seorang siswa,
kita tidak dapat secara langsung mengamati keadaan siswa secara fisik misalnya
dilihat dari cara berpakaian yang rapi, atau dahinya yang lebar. Tetapi untuk
mengetahui kemampuan matematika siswa kita harus melalui prosedur atau proses
yang benar dan menggunakan instrumen yang tepat sesuai dengan tujuan yang kita
kehendaki. Karena. dalam evaluasi harus melalui prosedur atau proses dan
menggunakan alat yang relevan, maka evaluasi bersifat tidak langsung (indirect).
2. Kuantitatif
Meskipun
dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berkaitan dengan penilaian yang
bersifat abstrak misalnya kemampuan berbahasa, kemampuan matematikan, sikap,
bakat, inteligensi dsb, namun dalam praktekmya hal-hal yang bersifat abstrak
tersebut dalam penilaiannya selalu dikuantitatifkan, misaInya IQ = 100,
kemampuan maternatika diskor 8, kemampuan berbahasa di skor 7 dsb. Karena
hal-hal yang abstrak tersebut selalu dikuantitatifkan, maka evaluasi pendidikan
bersifat kuantitatif
3. Relatif (tidak
mutlak)
Evaluasi pendidikan bersifat relatif
artinya setiap mengadakan penilaian kemungkinan terjadi adanya perubahan, atau
dengan kata lain penilaian tidak selalu sama atau tetap dari satu waktu ke
waktu. yang lain. Misalnya seorang siswa yang mendapat skor matematika 9, tidak
selamanya bila ulangan atau ujian skornya 9.
4. Menggunakan
unit-unit yang tetap
Sifat yang keempat penilaian pendidikan ialah menggunakan unit-unit
yang tetap artinya dalam mengungkap atau mengukur sesuatu obyek akan selalu
menggunakan satuan ukuran tertentu sesuai dengan obyek yang dlukur atau dinilai
misalnya IQ antara 100-110 termasuk normal, IQ 80-99 termasuk lamban dsb.
D. Prinsip Prinsip
Evaluasi.
Agar penilaian pendidikan dapat
mencapai sasarannya dalam mengevaluasi pola tingkah laku yang dimaksudkan, maka
harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut.
1. Evaluasi harus
dilaksanakan secara kontinyu
Evaluasi harus dilaksanakan secara kontinyu artinya evaluasi harus
dilaksanakan secara terus menerus pada masa-masa tertentu. Hal ini dimaksudkan
agar penilai memperoleh kepastian atau kemantapan dalam mengevaluasi.
Bila ditinjau dari kapan atau di mana kita harus mengadakan
evaluasi, dan dimaksudkan untuk apa evaluasi tersebut diadakan dalam
keseluruhan proses pendidikan, maka evaluasi meliputi :
a. Evaluasi formatif yaitu penilaian yang dilakukan selama dalam
perkembangan dan proses pelaksanaan pendidikan. Karena itu evaluasi formatif
dikenal juga dengan evaluasi proses. Tujuan evaluasi formatif ialah agar secara
tepat dan cepat dapat membetulkan setiap proses pelaksanaan yang tidak sesuai
dengan rencana.
- Evaluasi sumatif yaitu
evaluasi yang dilakukan pada akhir pelaksanaan proses pendidikan. Evaluasi
ini disebut evaluasi terhadap hasil pendidikan yang telah dilakukan oleh
siswa atau evaluasi produk.
2. Evaluasi harus
dilaksanakan secara komprehensif
Evaluasi yang mampu memahami keseluruhan aspek pola tingkahlaku yang
diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan adalah makna evaluasi secara
komprehensif Untuk dapat melaksanakan evaluasi secara komprehensif maka setiap
tujuan pendidikan harus dijabarkan sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan
pedoman untuk melakukan pengukuran. Pengukuran di sini harus mampu mencerminkan
butir-butir soal yang representatif terhadap tujuan pendidikan yang telah
dijabarkan secara tuntas.
3. Evaluasi harus
dilaksanakan secara obyektif
Pelaksanaan evaluasi harus obyektif artinya dalam proses penilaian
hanya menunjuk pada aspek-aspek yang dinilai sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Jadi dalam menilai hasil pendidikan, penilai tidak boleh memasukkan
faktor-faktor subyektif dalam memberikan nilai kepada siswa. Dengan kata lain,
evaluasi dikatakan obyektif apabila penilai dalam memberikan penilaian terhadap
suatu obyek hanya ada satu interpretasi.
4. Dalam melaksanakan
evaluasi harus menggunakan alat pengukur yang baik.
Agar evaluasi yang dilaksanakan itu obyektif, diperlukan informasi
atau bahan yang relevan. Untuk memperoleh informasi atau bahan yang relevan
diperlukan alat pengukur atau instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan atau
memenuhi syarat. Alat pengukur yang baik adalah alat pengukur yang memenuhi
persyaratan a). validitas, b). reliabilitas, dan c). daya pembeda.
a. Alat pengukur harus
valid
Validitas alat pengukur ialah kadar ketelitian alat pengukur untuk
dapat memenuhi fungsinya dalam menggambarkan keadaan aspek yang diukur dengan
tepat dan teliti. Sesuai dengan pengertian tersebut Sutrisno Hadi (1997) juga
mengemukakan bahwa mengenai masalah validitas ada dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan yaitu kejituan dan ketelitian. Jadi sesuai dengan pengertian
validitas tersebut di atas ada dua macam problem validitas yaitu:
1) Problem kejituan atau
ketepatan
Suatu alat pengukur dikatakan jitu atau tepat bila ia dengan jitu
mengena pada sasarannya. Atau dengan kata lain seberapa jauh suatu alat pengkur
dapat mengungkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian gejala yang hendak
diukur. Dengan demikian alat pengukur dianggap memiliki kejituan apabila alat
pengukur tersebut dapat mengerjakan dengan tepat fungsi yang diserahkan
kepadanya, fungsi apa alat itu dipersiapkan.
2) Problem ketelitian
Suatu alat pengukur dikatakan teliti jika ia mampu dengan cermat
menunjukkan ukuran besar-kecilnya gejala atau bagian-bagian gejala yang diukur.
Dengan kata lain seberapa jauh alat pengukur dapat memberikan "reading"
yang teliti, dapat menunjukkan dengan sebenamya status atau keadaan gejala atau
bagian-bagian gejala yang diukur, misaInya meteran dapat dikatakan teliti jika
suatu benda yang panjangnya 10 meter ia katakan 10 meter, bukan kurang atau
lebih dari 10 meter.
b. Alat pengukur halus
reliabel
Pembicaraan reliabilitas alat pengukur berdasar pada seberapa jauh
suatu alat pengukur dapat menunjukkan kestabilan, kekonstanan, atau keajegan
hasil pengukuran. Suatu alat pengukur dikatakan reliabel bila alat pengukur
tersebut dikenakan terhadap subyek yang sama tetapi pada saat yang berlainan
atau kalau orang yang memberikan alat
pengukur itu berbeda hasilnya akan tetap sama. Sebagai contoh suatu meteran
yang dipergunakan untuk mengukur panjang suatu benda. Meteran tersebut dapat
dikatakan reliabel bila ia dipergunakan untuk mengukur benda (X) menunjukkan
hasil yang sama walaupun saat pengukurannya berbeda dan orang yang melakukan
pengukuran juga berbeda.
c. Alat pengukur harus
memiliki daya pembeda (diskriminatif)
Daya pembeda atau "discriminating
power" soal adalah seberapa jauh suatu butir soal mampu membedakan
tentang keadaan aspek yang diukur apabila keadaannya memang berbeda. Misalnya
tes hasil belajar dapat diketahui daya pembedanya bila tes tersebut mampu
membedakan antara dua orang atau lebih yang memang memiliki kemampuan belajar
yang berbeda. Dengan kata lain tes yang baik harus dapat membedakan kemamapuan
anak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
Suatu butir soal yang sangat sukar, sehingga semua siswa tidak dapat
mengerjakannya dengan benar, berarti butir soal tersebut tidak memiliki daya
pembeda. Begitu pula sebaliknya butir soal yang sangat mudah sehingga semua
siswa dapat mengerjakan dengan benar, butir soal tersebut juga tidak memiliki
daya pembeda.
Di samping ketiga syarat pokok alat
pengukur yang baik di atas, masih ada syarat lain yaitu alat pengukur harus
komprehensif, obyektif, terstandar, dan praktis.
E. Alat Evaluasi
Untuk dapat mengevaluasi dengan
baik, kita harus melakukan pengukuran dengan baik pula. Untuk dapat mengukur
dengan baik atau tepat, kita harus menggunakan alat pengukur yang baik atau
memenuhi persyaratan. Adapun alat untuk mengukur atau mengevaluasi kegiatan
pendidikan khususnya hasil belajar pada garis besamya dapat dibedakan dalam dua
macam yaitu yang berupa tes dan non-tes.
Apabila yang dipergunakan sebagai
alat pengukur adalah tes, maka individu yang dievaluasi dihadapkan pada situasi
yang telah distandardisasikan sedemikian rupa sehingga semua individu yang
dites mendapat perlakuan yang sama. Dengan situasi yang terstandar tersebut
testee akan menerima perintah atau tugas yang sama, sehingga setiap individu
yang dites akan memperoleh skor tertentu sebagai penggarnbaran dari hasil yang
telah mereka laksanakan. Adapun ciri-ciri situasi yang terstandar adalah
sebagai berikut:
1 . Semua individu yang dites akan memberikan jawaban dari pertanyaan
dan perintah sama.
2. Semua individu akan mendapat perintah yang sama dan perintah
tersebut harus jelas sehingga semua individu memahami makna perintah tersebut.
3. Cara koding terhadap hasil tes harus dibuat seragam sehingga
jawaban yang sama akan mendapat skor yang sama.
4. Waktu dan penyelenggaraan tes juga harus seragam dalam arti setiap
individu mempunyai kesempatan dan waktu yang sama dalam melaksanakan tugas atau
dalam menerima pertanyaan.
Di
sarnping individu dihadapkan dengan situasi yang terstandar, ada sesuatu yang
penting di dalam menggunakan skor. Skor di sini berarti bilangan yang
menunjukkan atau menggambarkan tindakan atau "performance"
individu yang dites. Karena dengan skor yang berupa bilangan dapat memberikan
kejelasan secara tepat tentang hasil perbuatan dari individu yang dites. Dengan
skor yang berapa angka, akan diketahui adanya perbedaan prestasi diantara dua
individu walaupun perbedaannya kecil. Di samping itu dengan skor yang berupa
angka dimungkinkan hasil tindakan individu yang dites dapat dianalisis secara
statistik. Tanpa dilakukannya perhitungan-perhitungan secara statistik tidak
akan mungkin dapat diperoleh keputusan yang valid atau tepat tentang
efektivitas dari tes untuk memberikan keputusan tentang pendidikan.
Apabila yang dipergunakan sebagai yang
dievaluasi tidak dihadapkan kepada situasi terstandar yaitu situasi yang diatur
dan dikendalikan sesuai dengan tujuan. Dengan non-tes situasi dibiarkan
berjalan seperti apa adanya, tanpa dipengaruhi oleh tester.
Kegiatan-kegiatan pendidikan yang dapat
dievaluasi dengan non-tes misaInya tentang kerajinan, kelancaran berbicara di
muka kelas, aktivitas dalam diskusi dsb. Alat yang dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi antara lain pedoman wawancara, pedoman observasi, dokumentasi,
angket, dsb.
Berikut ini akan disajikan gambaran tentang
macam-macam alat evaluasi pendidikan dalam bentuk diagram:
Interview
|
Questionair
PERFORMANCE VERBAL NONVERBAL
WRITTEN
ORAL
STANDARDIZE
ESSAY OBJECTIVE TEACHER MADE TEST
FREE
RESP LIMITED SUPPLY
SELECTION
SHORT
COMPLETION T
Berikut ini akan
disajikan keterangan khususnya alat evaluasi jenis tes:
a
Tes
merupakan prosedur atau alat yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur
sesuatu dalam suasana yang telah ditentukan, dan dengan cara serta
aturan-aturan yang sudah ditentukan. Untuk mengerjakan tes bergantung dari
petunjuk yang diberikan
b
Performance
test
(tes perbuatan) yaitu tes dalam bentuk perbuatan atau tindakan tertentu. Dengan
tes perbuatan testee ditugasi untuk melakukan perbuatan atau tindakan tertentu
seperti yang dimaksudkan oleh tester. Contohnya tes keterampilan mengetik,
menari, menggambar, dan keterampilan dalam bidang olah raga.
c
Verbal
test
(tes verbal) yaitu tes yang jawabannya diharapkan dari testee berupa uraian
dalam bentuk bahasa. Jawaban atau respons tersebut dapat dinyatakan dalam
bentuk bahasa yang diucapkan (lisan) dan dapat pula dinyatakan dalarn bentuk
bahasa tertulis.
d
Nonverbal
test
yaitu tes dalam bentuk bahasa isyarat atau gerakan tertentu, sedang tugas
testee mengartikan atau menafsirkan gerakan atau isyarat yang diberikan oleh
tester. MisaInya tes yang dilaksanakan di sekolah luar biasa (bisu tuli), dalam
pendidikan kepramukaan dsb.
e
Essay
test
(tes subyektif) ialah suatu pertanyaan yang jawabannya diharapkan dari testee
berupa uraian menurut kemampuan yang dimiliki. Pertanyaan-pertanyaan pada tes
subyektif biasanya menggunakan kalimat-kalimat pendek, sedang jawaban yang
diharapkan dari testee berupa uraian yang panjang lebar dan bebas, dengan gaya
bahasa serta susunan kalimat masing-masing
f
Objective
test
(tes objektif) ialah tes yang disusun sedemikian rupa sehingga jawaban yang
diharapkan dari testee berupa kata-kata singkat dan bahkan pada tipe tertentu cukup hanya dengan memberikan
tanda-tanda check (v), tanda silang (X) atau lingkaran (0).
g
Supply
test
(tes menyajikan) ada dua tipe:
a. Short answer test (tes
jawab singkat) disebut juga simple question test merupakan pertanyaan
tes yang disusun sedemikian rupa sehingga jawaban yang diminta cukup hanya
dengan kalimat pendek saja, bahkan cukup dengan satu atau dua kata saja.
b. Completion test (tes
melengkapi), tes, tipe ini merupakan serangkaian kalimat, yang bagian-bagian
penting dari kalimat tersebut dikosongkan untuk diisi oleh testee.
8. Selection test (tes pilihan) ada lima
tipe:
a.
True-false
test
(tes benar-salah), butir-butir soalnya berupa pernyataan-pernyataan,
pernyataan-pernyataan tersebut ada yang benar ada yang salah, Tugas testee
adalah membenarkan atau menyalahkan pernyataan tersebut dengan memberi tanda
silang atau menulis B bila benar atau S bila salah.
b.
Multiple
choice test
(tes pilihan ganda), terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang
sesuatu pengertian yang belum lengkap. Untuk melengkapinya testee harus memilih
satu diantara jawaban yang telah disediakan.
c. Matching
test (tes menjodohkan) yaitu tes yang terdiri dari satu seri pertanyaan dan
satu seri jawaban. Masing-masing pertanyaan mempunyai jawaban yang tercantum
dalam seri jawaban. Tugas testee ialah mencari dan menjodohkan jawaban-jawaban
sehingga cocok atau sesuai dengan pertanyaannya.
d. Analogy test (tes analogi) merninta kepada teste untuk
menjawab soal-soal dengan mencari bentuk kesesuaiannya dengan pengertian yang
telah disebutkan terdahulu.
e. Rearrangement test (tes menyusun kembali), tes ini
memerintahkan kepada testee untuk menyusun rangkaian pengertian atau
urutan-urutan proses menurut tata cara yang sebenamya dari suatu urutan yang
sengaja dibuat tidak teratur. Urutan tersebut dapat berupa urutan kronologis,
urutan kesukarannya, urutan panjangnya, beratnya, tingginya dsb.
F. Rangkuman
a
Kegiatan pengukuran dan
penilaian hasil belajar merupakan kegiatan yang berkesinambungan, artinya
pengukuran tanpa penilaian tidak ada artinya, sedang penilaian tanpa pengukuran
terlebih dahulu akan terjadi kesalahan. Namun dalarn kehidupan sehari-hari
penilaian dapat dilakukan tanpa mengadakan pengukuran terlebih dahulu misalnya,
Rumah itu bagus. Rumah ltu dinilai bagus tanpa mengadakan pengukuran
sebelumnya. Tetapi dalam penilaian hasil belajar kita harus melakukan
pengukuran terlebih dahulu, baru kemudian menilai, misalnya untuk menilai bahwa
si Arnin itu pandai mateinatika, kita harus mengukur dahulu kemampuan
matematikanya dengan menggunakan alat tes matematika.
b
Banyak para ahli mengemukakan
fungsi evaluasi hasil belajar menurut klasifikasinnya. Menurut Suryabrata
(1986) fungsi evaluasi hasil belajar dibedakan menjadi tiga yaitu fungsi
psikologis, fungsi didaktis dan fungsi administratif. Sedang menurut Wuradji
(1974) fungsi evaluasi hasil belajar dibedakan untuk
kepentingan murid, kepentingan pendidik, dan untuk kepentingan lembaga
pendidikan. Lain halnya menurut Thorndike dan Hagen (1961), tujuan dan kegunaan
evaluasi hasil belajar diarahkan untuk mengambil keputusan yang menyangkut:
pengajaran, hasil belajar, diagnosis dan perbaikan, penempatan, seleksi,
bimbingan dan konseling, kurikulum, dan penilaian kelembagaan.
c
Banyak obyek evaluasi dalarn
pendidikan itu sifatnya abstrak, misalnya kemampuan, sikap, minat dan
sebagainya. Karena itu penilaian pendidikan bersifat tak langsung, kuantitatif,
relatif, dan menggunakan unit-unit yang tetap.
d
Penilaian pendidikan akan
mencapai sasarannya bila dalam mengevaluasi memperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a.
Evaluasi harus kontinyu,
artinya evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus pada masa. tertentu.
Sesuai dengan tujuannya ada dua macain evaluasi yaitu evaluasi fonnatif dan
evaluasi surnatif.
b.
Evaluasi harus kornprehensif,
artinya mampu memahami keseluruhan aspok pola tingkahlaku yang diharapkan
sesuai dengan tujuan pendidikan.
c.
Evaluasi harus dilaksanakan
secara obyektif, artinya dalam menilai harus sesuai dengan kenyataannya, atau
hanya ada satu interpretasi.
d.
Dalam mengadakan evaluasi hatus
menggunakan alat yang baik, artinya alat tersebut harus memenuhi persyaratan
validitas, reliabilitas dan daya pembeda.
e
Alat evaluasi disebut juga alat
pengukur. Untuk dapat mengukur dengan tepat harus menggunakan alat pengukur
yang baik dalam arti memenuhi persyaratan. Alat pengukur hasil belajar pada
garis besarnya dibedakan menjadi dua yaitu alat pengukur yang berupa tes dan
nontes.
G. Tugas dan Latihan
I.
Tugas:
Diskusikan dalam keIompok kecil (3-4 orang) topik berikut:
a.
Pentingnya
hasil belajar anak didik itu dinilai.
b.
Usaha-usaha
agar evaluasi hasil belajar tepat mongenai sasarannya.
II. Latihan soal:
1
. Informasi baik kuantitatif maupun
kualitatif yang telah terkumpul dalam
proses evaluasi digunakan sebagai bahan:
a. penimbang pengambilan kepulusan c. penilaian
b. laporan d.
dokumentasi
2. Penilaian ialah tindakan untuk:
a. mengenakan suatu alat pengukur
terhadap obyek
b. mengidentifikasi besar kecilnya
gejala
c. memberikan interpretasi terhadap
suatu objek
d. menetapkan cin-ciri gejala
3. Penilaian Acuan Patokan tepat digunakan
dalam
a. tes sumatif c. tes
formatif
b. tes unit /sisipan d. tes akhir
4. Penilaian Acuan Norma paling tepat
digunakan untuk:
a. tes unit c. tes subsumatif
b. tes formatif d.
tes sumatif
5. Validitas isi menunjuk pada pengertian:
a. lingkup materi yang diungkap
b. jurnlah butir soal dalam tes
c. kesejajaran soal dongan mated
yang diukur
d. keseimbangan jumlah soal dengan
bahan ujian.
6. Menetapkan status anak di dalam kelas
termasuk fungsi:
a. psikologis c.
administratif
b. didaktis d. diagnosis
7.
Suatu
hasil penilaian dikatakan obyektif bila:
a.mampu
mengukur aspek yang semestinya diukur
b.mampu
menunjukkan perbedaan obyek yang sernestinya berbeda
c.mampu
menunjukkan hasil yang sama walau dikenakan pada saat yang berbeda
d.hanya
ada satu interpretasi.
8. Tes bentuk karangan. (essay tes)
sering kali disebut tes subyektif karena:
a. nilainya bergantung kepada
kemampuan anak didik
b. subyek penilai mempengaruhi
penilaiannya
c. peserta didik mempengaruhi
penentuan nilainya
d. penilai dan yang dinilai,
keduanya berpengaruh pada penilaian
9. Berikut ini merupakan kelernahan tes
subyektif (essay test)
a. mengernbangkan kernarnpuan
monyatakan ide dengan bebas
b. mengembangkan kemampuan
mengorganisasikan fakta menjadi konsep
c. mengungkap materi pelajaran
secara tuntas
d. mengembangkan kemampuan
menciptakan pikiran orisional
10
Seorang
guru minta kepada siswa untuk melaporkan kegiatan mengamati pertumbuhan
beberapa tanaman. Dalam hal ini guru sedang mengukur:
a. kemampuan siswa melakukan tugas
b. tingkat kreatifitas dan kerajinan
siswa
c. kemampuan dasar yang dimiliki
siswa
d. aspek hasil belajar siswa dalam
bidang studi IPA
H. Daftar Pustaka
Rernmers H.H. and Gage N.L1955. Educational
Measurement and Evaluation. New York : Harper.
Remmers, HH, Gage NL and Rummel JF. 1960. A.
Practical Introduction to Measurement and Evaluation. New York : Harper
& Row.
Suharsimi, AK, 1989. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Sumadi Suryabrata. 1986. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Rajawali.
Sutrisno Hadi. 1997. Methodologi Research II.
Yogyakarta: Yasbit. Psikologi UGM.
Thorndike R.L., and Hagen Elizabeth. (1961). Measurement
and Evaluation in Psychology and Education, New York: John Willey &
Sons, Inc.
Wuradji. 1974. Teknik Pengukuran dan Penilaian
Hasil Belajar. Yogyakarta: terbitan sendiri
BAB VI
DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR (DKB)
Tujuan
Mempelajari Pokok Bahasan Ini :
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu menjelaskan kedudukan diagnosis
kesulitan belajar, pengertian kesulitan
belajar, manifestasi gejala kesulitan belajar, langkah-langkah pokok dalam
diagnosis kesulitan belajar, konsep dasar pengajaran remedial, tujuan dan
fungsi pengajaran remedial, uraian tentang prosedur kegiatan pengajaran
remedial, dan pendekatan serta metode
pengajaran remedial.
A. Kedudukan Diagnostik Kesulitan
Belajar dalam Belajar
Kesulitan belajar yang
dialami individu atau siswa yang belajar dapat diidentifikasi melalui
faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor-faktor
kesulitan belajar yang berasal dari dalam diri siswa sangat terkait dengan
kondisi-kondisi fisiologis dan psikologisnya ketika belajar sedangkan
faktor-faktor kesulitan belajar yang berasal dari luar diri siswa banyak yang
bersumber pada kurangnya fasilitas, sebagai salah satu faktor penunjang
keberhasilan aktivitas atau perbuatan belajar.
Ketidakberhasilan dalam proses belajar mengajar
untuk mencapai suatu ketuntasan materi
tidak dapat dilihat hanya pada satu faktor saja, akan tetapi banyak faktor yang
terlibat dan mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Faktor yang dapat
dipersoalkan adalah: siswa yang belajar, jenis kesulitan yang dihadapi dan
kegiatan-kegiatan dalam proses belajar. Jadi, yang terpenting dalam kegiatan
proses diagnosis kesulitan belajar adalah menemukan letak kesulitan belajar dan
jenis kesulitan belajar yang dihadapi siswa agar pengajaran perbaikan (learning corrective) yang dilakukan
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Proses
belajar merupakan hal yang kompleks, di mana siswa sendiri yang menentukan
terjadi atau tidak terjadinya aktivitas atau perbuatan belajar. Dalam
kegiatan-kegiatan belajarnya, siswa menghadapi masalah-masalah secara intern
dan ekstern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka siswa tidak
dapat belajar dengan baik. Dimyati dan Mudjiono (1994 : 228 – 235) mengatakan:
Faktor-faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada
proses belajar adalah sebagai berikut:
1.
Sikap terhadap belajar
2.
Motivasi belajar
3.
Konsentrasi belajar
4.
Mengolah bahan belajar
5.
Menyimpan perolehan hasil
belajar
6.
Menggali hasil belajar yang
tersimpan
7.
Kemampuan berprestasi atau
unjuk hasil kerja
8.
Rasa percaya diri siswa
9.
Inteligensi dan keberhasilan
belajar
10.
Kebiasaan belajar
11.
Cita-cita siswa.
Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor ekstern
ditinjau dari siswa, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh pada aktivitas
belajar. Dimyati dan Mudjiono, (1994) menyebutkan faktor-faktor tersebut,
sebagai berikut:
1.
Guru sebagai pembina siswa
belajar
2.
Prasarana dan sarana pembelajaran
3.
Kebijakan penilaian
4.
Lingkungan sosial siswa di
sekolah
5.
Kurikulum sekolah.
Dalam Buku II Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial, Depdikbud Universitas Terbuka
(1985) menjelaskan: Bila telah ditemukan bahwa sejumlah siswa tidak memenuhi
kriteria persyaratan ketuntasan materi yang ditetapkan, maka kegiatan diagnosis
terutama harus ditujukan kepada:
1.
Bakat yang dimiliki siswa yang
berbeda antara satu dari yang lainnya,
2.
Ketekunan dan tingkat usaha
yang dilakukan siswa dalam menguasai bahan yang dipelajarinya
3.
Waktu yang tersedia untuk
menguasai ruang lingkup tertentu sesuai dengan bakat siswa yang sifatnya
individual dan usaha yang dilakukannya
4.
Kualitas pengajaran yang
tersedia yang dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan serta karakteristik
individu
5.
Kemampuan siswa untuk memahami
tugas-tugas belajarnya
6.
Tingkat dari jenis kesulitan
yang diderita siswa sehingga dapat ditentukan perbaikannya apa dengan cukup
mengulang dengan cara yang sama mengambil alternatif kegiatan lain melalui
pengajaran remedial.
Jadi, proses diagnosis kesulitan belajar
adalah menemukan kesulitan belajar siswa dan menentukan kemungkinan cara
mengatasinya dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan kegiatan belajar.
B. Pengertian Kesulitan Belajar
Pada umumnya, “kesulitan belajar” merupakan
suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam
kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih keras
untuk dapat mengatasinya. Prayitno, dalam buku Bahan Pelatihan Bimbingan dan
Konseling (Dari “Pola Tidak Jelas ke Pola Tujuh Belas”) Materi Layanan Pembelajaran, Depdikbud (1995/1996:1-2) menjelaskan:
Kesulitan belajar dapat diartikan
sebagai suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
Hambatan-hambatan tersebut mungkin dirasakan atau mungkin tidak dirasakan oleh
siswa yang bersangkutan. Jenis hambatan ini dapat bersifat psikologis,
sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses belajar mengajar.
Dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami
kesulitan belajar akan mengalami hambatan dalam proses mencapai hasil
belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada dibawah yang
semestinya. Alan O. Ross (1974), mengatakan
“A learning difficulty represente a
discrepancy between a chill’s estimated academic potential and his actual level
of academic performance”.
Selanjutnya, bila dikembangkan pemahaman konsep
kesulitan belajar maka pengertian kesulitan belajar mempunyai suatu pengertian
yang sangat luas dan mendalam, termasuk pengertian-pengertian: “learning disorder”, “learning disabilities”, “learning disfunction”, “underachiever”, dan “slow
learners”.
Dari
kesulitan-kesulitan belajar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Learning disorder atau kekacauan belajar
adalah keadaan di mana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya
respons yang bertentangan. Learning
disabilities atau ketidakmampuan belajar adalah mengacu kepada gejala
dimana anak tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar yang dicapai berada di bawah potensi intelektualnya. Learning disfunction, mengacu kepada gejala dimana proses belajar
tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya anak tidak menunjukkan adanya
subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan-gangguan psikologis
lainnya.
Underachiever, adalah mengacu kepada anak-anak yang memiliki tingkat potensi
intelektual yang tergolong diatas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong
rendah. Kemudian, slow learner
(lambat belajar) adalah anak-anak yang lambat dalam proses belajarnya, sehingga
anak tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan sekelompok
anak lain yang memiliki taraf intelektual yang sama. Individu yang tergolong
dalam pengertian-pengertian tersebut di atas, akan mengalami kesulitan belajar
yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam proses belajarnya.
Kesulitan belajar, pada dasarnya
merupakan suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifestasi tingkah lakunya.
Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Sesuai dengan pengertian
kesulitan belajar di atas, tingkah laku yang dimanifestasikannya ditandai
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Gejala ini akan nampak dalam
aspek-aspek motoris, kognitif, konatif dan afektif, baik dalam proses maupun
hasil belajar yang dicapainya.
Beberapa ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan manifestasi
gejala kesulitan belajar, antara lain:
a
Menunjukkan hasil belajar yang
rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah
potensi yang dimilikinya.
b
Hasil yang dicapai tidak
seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang selalu
berusaha untuk belajar dengan giat, tapi nilainya yang dicapainya selalu
rendah.
c
Lambat dalam melakukan
tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal dari kawan-kawannya dalam
menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan waktu yang tersedia.
d
Menunjukkan sikap-sikap yang
kurang wajar, seperti acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan
sebagainya.
e
Menunjukkan tingkah laku yang
berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, mengganggu di dalam atau di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran,
tidak teratur dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau
bekerja sama, dan sebagainya.
f
Menunjukkan gejala emosional
yang kurang wajar, seperti pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau
kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas
Burton (1952 : 622 – 624) mengidentifikasikan seseorang siswa itu dapat
dipandang atau dapat diduga sebagai mengalami kesulitan belajar, apabila yang
bersangkutan menunjukkan kegagalan (failure)
tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Oleh karena itu, Burton
mendefinisikan kegagalan belajar, sebagai berikut:
1.
Siswa dikatakan gagal, apabila
dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan
tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (mastery level), minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang telah
ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (criterion
referenced).
2.
Siswa dikatakan gagal, apabila
yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang
semestinya (berdasarkan ukuran tingkat kemampuannya, inteligensi, bakat), ia
diramalkan (predicted) akan dapat
mengerjakannya atau mencapai prestasi tersebut.
3.
Siswa dikatakan gagal, apabila
yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian
sosial, sesuai dengan pola organismiknya (his
organismic pattern) pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku
bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan (norm referenced).
4.
Siswa dikatakan gagal, apabila
yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai
prasyarat (prerequisiti) bagi
kelanjutan (continuity) pada tingkat
pelajaran berikutnya.
Dengan demikian dari empat pengertian kesulitan
belajar atau kegagalan belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang
siswa dapat diduga sebagai mengalami kesulitan belajar, apabila yang
bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu
dan dalam batas-batas tertentu.
C. Prosedur dan Teknik Diagnostik
Kesulitan Belajar (DKB)
Salah satu
tugas lembaga pendidikan formal adalah menciptakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada setiap siswa untuk mengembangkan dirinya secara optimal
sesuai dengan kemampuan, bakat, minat dan potensi diri yang dimilikinya, dan
sesuai pula dengan lingkungan yang ada. Kenyataan masih juga dijumpai, bahwa
ada sementara siswa yang memperoleh prestasi hasil belajarnya jauh di bawah
ukuran rata-rata (average) atau norma
yang telah ditetapkan bila dibandingkan dengan teman-teman dalam kelompoknya.
Banyak pula dijumpai sejumlah siswa, secara potensial diharapkan memperoleh
hasil yang tinggi, akan tetapi prestasinya biasa-biasa saja, bahkan mungkin
lebih rendah dari teman lain yang potensinya lebih kurang dari dirinya.
Untuk mengetahui potensi seorang
siswa, dapat dilihat dari prestasi sebelumnya dengan melakukan observasi atau
akan lebih teliti bila digunakan tes psikologis, misalnya lewat tes inteligensi
atau tes bakat. Apabila ada indikasi, bahwa mereka mengalami kesulitan dalam
aktivitas belajarnya, maka mereka
membutuhkan bantuan secara tepat dan dapat dilakukan dengan segera. Bantuan
yang diberikan itu, akan berhasil dan dapat dilaksanakan secara efektif apabila
kita secara teliti dapat memahami sifat kesulitan yang dialami, mengetahui
secara tepat faktor yang menyebabkannya serta menemukan berbagai cara
mengatasinya yang relevan dengan faktor penyebabnya.
Prayitno
dalam Buku Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling (Dari “Pola Tidak Jelas ke
Pola Tujuh Belas”) Materi Layanan
Pembelajaran, Depdikbud (1996) mengatakan bahwa secara skematik
langkah-langkah diagnostik dan remedial kesulitan belajar untuk kegiatan
bimbingan belajar, sebagai berikut:
1 2 Identifikasi ------------------------------------------> Identifikasi
Kasus
Masalah
6
5 4 3
Rekomendasi <---------- Progosis <--------- Identifikasi
Referal
Faktor Penyebab
6 Pengulangan Remedial
-----------------------------------------> Pengayaan
Pengukuhan
Percepatan
Berikut ini, penjelasan skema di atas tentang
langkah-langkah diagnostik dan remedial kesulitan belajar, sebagai berikut :
1.
Identifikasi Kasus
Pada langkah ini, menentukan siswa mana yang diduga mengalami
kesulitan belajar. Cara-cara yang ditempuh dalam langkah ini, sebagai berikut:
a.
Menandai siswa dalam satu kelas
untuk kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
b.
Caranya, ialah dengan
membandingkan posisi atau kedudukan prestasi siswa dengan prestasi kelompok
atau dengan kriteria tingkat keberhasilan yang telah ditetapkan.
c.
Teknik yang ditempuh dapat
bermacam-macam, antara lain:
(1)
Meneliti nilai hasil ujian
semester yang tercantum dalam laporan hasil belajar (buku leger), dan kemudian
membandingkan dengan nilai rata-rata kelompok atau dengan kriteria yang telah
ditentukan.
(2)
Mengobservasi kegiatan siswa
dalam proses belajar mengajar, siswa yang berperilaku menyimpang dalam proses
belajar mengajar diperkirakan akan mengalami kesulitan belajar.
2.
Identifikasi Masalah
Setelah menentukan dan memprioritaskan siswa
mana yang diduga mengalami kesulitan belajar, maka langkah berikutnya adalah
menentukan atau melokalisasikan pada bidang studi apa dan pada aspek mana siswa
tersebut mengalami kesulitan. Antara bidang studi tentu saja ada bedanya,
karena itu guru bedang studi lebih mengetahuinya. Pada tahap ini kerjasama
antara petugas bimbingan dan konseling, wali kelas, guru bidang studi akan
sangat membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajarnya. Cara dan alat yang
dapat digunakan, antara lain:
a.
Cara yang langsung dapat
digunakan oleh guru, misalnya:
(1)
Tes diagnostik yang dibuat oleh
guru untuk bidang studi masing-masing, seperti untuk bidang studi Matematika,
IPA, IPS, Bahasa dan yang lainnya. Dengan tes diagnostik ini dapat diketemukan
karakteristik dan sifat kesulitan belajar yang dialami siswa.
(2)
Bila tes diagnostik belum
tersedia, guru bisa menggunakan hasil ujian siswa sebagai bahan untuk
dianalisis. Apabila tes yang digunakan dalam ujian tersebut memiliki taraf
validitas yang tinggi, tentu akan mengandung unsur diagnosis yang tinggi.
Sehingga dengan tes prestasi hasil belajar pun, seandainya valid dalam
batas-batas tertentu akan dapat mengdiagnosis kesulitan belajar siswa.
(3)
Memeriksa buku catatan atau
pekerjaan siswa. Hasil analisis dalam aspek ini pun akan membantu dalam
mendiagnosis kesulitan belajar siswa.
Mungkin pula untuk melengkapi data di atas, bisa bekerjasama dengan
orang tua atau pihak lain yang erat kaitannya dengan lembaga sekolah. Caranya,
antara lain:
a
Menggunakan tes diagnostik yang
sudah standar
b
Wawancara khusus oleh ahli yang
berwewenang dalam bidang ini.
c
Mengadakan observasi yang
intensif, baik di dalam lingkungan rumah maupun di luar rumah.
d
Wawancara dengan guru
pembimbing dan wali kelas, dengan orang tua atau dengan teman-teman di sekolah.
3.
Identifikasi Faktor
Penyebab Kesulitan Belajar
Faktor penyebab kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a.
Faktor internal, yaitu
faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa itu sendiri. Hal ini antara lain,
disebabkan oleh:
(1)
Kelemahan fisik, pancaindera,
syaraf, cacat karena sakit, dan sebagainya.
(2)
Kelemahan mental: faktor
kecerdasan, seperti inteligensi dan bakat yang dapat diketahui dengan tes
psikologis.
(3)
Gangguan-gangguan yang bersifat
emosional.
(4)
Sikap kebiasaan yang salah
dalam mempelajari materi pelajaran.
(5)
Belum memiliki pengetahuan dan
kecakapan dasar yang dibutuhkan untuk memahami materi pelajaran lebih lanjut.
b.
Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa,
sebagai penyebab kesulitan belajar, antara lain:
(1)
Situasi
atau proses belajar mengajar yang tidak merangsang siswa untuk aktif
antisipatif (kurang memungkinkan siswa untuk belajar secara aktif “student active learning”).
(2)
Sifat kurikulum yang kurang fleksibel.
(3)
Beban studi yang terlampau berat.
(4)
Metode mengajar yang kurang menarik
(5)
Kurangnya alat dan sumber untuk kegiatan
belajar
(6)
Situasi rumah yang kurang kondusif untuk
belajar.
Untuk memperoleh berbagai informasi di atas, dapat menggunakan
berbagai cara dan bekerjasama dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan
kegiatan ini. Misalnya, untuk mendapatkan informasi tentang keadaan fisik
siswa, perlu bekerjasama dengan dokter atau klinik sekolah, untuk memperoleh
data tentang kemampuan potensial siswa dapat bekerjasama dengan petugas
bimbingan dan konseling (konselor) atau dengan psikolog, untuk mengetahui sikap
dan kebiasaan belajar siswa dapat mengamatinya secara langsung di kelas,
menggunakan skala sikap dan kebiasaan belajar, wawancara dengan wali kelas,
dengan orang tua, dengan siswa itu sendiri, atau dengan teman-temannya, dan
masih banyak cara yang dapat ditempuh.
4.
Prognosis/Perkiraan
Kemungkinan Bantuan
Setelah mengetahui letak kesulitan belajar yang dialami siswa, jenis
dan sifat kesulitan dengan faktor-faktor penyebabnya, maka akan dapat
memperkirakan kemungkinan bantuan atau tindakan yang tepat untuk membantu
kesulitan belajar siswa. Pada langkah ini, dapat menyimpulkan tentang:
a.
Apakah siswa masih dapat
ditolong untuk dapat mengatasi kesulitan belajarnya atau tidak ?
b.
Berapa waktu yang dibutuhkan
untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa tersebut ?
c.
Kapan dan di mana pertolongan
itu dapat diberikan ?
d.
Siapa yang dapat memberikan
pertolongan ?
e.
Bagaimana caranya agar siswa
dapat ditolong secara efektif ?
f.
Siapa sajakah yang perlu
dilibatkan atau disertakan dalam membantu siswa tersebut, dan apakah peranan
atau sumbangan yang dapat diberikan masing-masing pihak dalam menolong siswa
tersebut ?
5.
Referal
Pada langkah ini, menyusun suatu rencana atau alternatif bantuan
yang akan dilaksanakan. Rencana ini hendaknya mencakup:
a.
Cara-cara yang harus ditempuh
untuk menyembuhkan kesulitan belajar yang dialami siswa yang bersangkutan.
b.
Menjaga agar kesulitan yang
serupa jangan sampai terulang lagi.
Dalam membuat rencana kegiatan untuk pelaksanaan sebagai alternatif
bantuan sebaiknya, didiskusikan dan dikomunikasikan dengan pihak-pihak yang
dipandang berkepentingan, yang diperkirakan kelak terlibat dalam proses
pemberian bantuan.
Prosedur dan langkah-langkah diagnosis kesulitan belajar di atas,
tampaknya lebih cenderung bersifat kuratif, dalam arti upaya mendeteksi siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar setelah kegiatan belajar selesai dilaksanakan
atau setelah diketahui prestasi belajar/hasil belajar siswa. Namun, dapat juga
mengembangkan suatu prosedur diagnostik yang tidak hanya bersifat kuratif,
tetapi juga dapat bersifat preventive
developmental. Misalnya, sebelum pelajaran dimulai dapat memberikan test entering behavior atau pretest. Data yang diperoleh dengan tes
tersebut dapat dijadikan dasar untuk memprediksi taraf kesiapan untuk mengikuti
pelajaran.
Dari data yang diperoleh siswa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
kelompok yang lebih homogen, sehingga memudahkan untuk memperlakukannya dalam
mengajar. Cara ini merupakan tidakan atau upaya pencegahan (preventive). Contoh lain, selama proses
belajar mengajar berlangsung, guru dapat mengamati kegiatan dan pekerjaan siswa
dengan begitu guru dapat mengetahui kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh
siswa dan dengan segera dan langsung memberikan upaya bantuan. Dalam kegiatan
ini adalah merupakan upaya diagnostik yang lebih bersifat pengembangan (developmental) karena dengan upaya itu siswa
pada setiap saat dapat memperbaiki kekeliruannya sehingga sangat diharapkan
dapat memperoleh kemajuan belajar secara kontinyu. Kemajuan belajar siswa
dilihat sebagai suatu indikasi adanya perubahan kearah kemajuan yang
ditunjukkan dengan prestasi belajar yang diperoleh siswa.
Dalam melaksanakan pengajaran remedial, bahwa boleh jadi akan
terjadi pengulangan (repetition),
pengayaan (enrichment), pengukuhan (reinforcement), dan percepatan (acceleration). Karena itu, meyangkut
segala kegiatan dan pelaksanaannya hendaknya dicermati dengan sungguh-sungguh
agar hasilnya memuaskan dan optimal keberhasilannya. Remedial yang dilakukan
oleh guru, untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pada diri siswa, perlu
dilakukan evaluasi kembali.
D. Konsep Dasar Pengajaran Remedial
Pengajaran Remedial, yaitu suatu proses
kegiatan pelaksanaan program belajar mengajar khusus bersifat individual,
diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, yang bersifat
mengoreksi (menyembuhkan) siswa yang mengalami gangguan belajar tersebut
sehingga dapat mengikuti proses belajar mengajar secara klasikal kembali untuk
mencapai prestasi optimal.
Jika tidak dilakukan program pengajaran
remedial, maka siswa tersebut secara kumulatif akan semakin ketinggalan dan
tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar secara klasikal. Akibatnya siswa
semakin merasa rendah diri karena rendah prestasi. Ada pula siswa yang rendah
prestasi tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar secara klasikal, terus
mencari kompensasi dengan mengganggu suasana kelas, berbuat ramai, melempar
teman, mencari perhatian. Karena itu, guru harus memahami pentingnya pengajaran
remedial dan sanggup melaksanakannya.
E. Prosedur Pengajaran
Remedial
Dalam pelaksanaannya, pengajaran remedial
mengikuti prosedur, sebagai berikut:
1.
Langkah pertama: Penelaahan
Kembali Kasus
Guru menelaah kembali
secara lebih dalam tentang siswa yang akan diberi bantuan. Dari diagnosis
kesulitan belajar yang sudah diperoleh lebih dahulu guru perlu menelaah lebih
jauh untuk memperoleh gambaran secara definitif tentang siswa yang dihadapi,
permasalahannya, kelemahannya, letak kelemahan, penyebab utama kelemahan, berat
ringannya kelemahan, apakah perlu bantuan ahli lain, merencanakan waktu dan
siapa yang melaksanakan.
2.
Langkah kedua: Alternatif
Tindakan
Setelah memperoleh
gambaran lengkap tentang siswa, baru direncanakan alternatif tindakan, sesuai
dengan karakteristik kesulitan siswa. Alternatif pilihan tindakan bagi kasus yang mendapatkan kesulitan di
dalam belajar, maka langsung saja melakukan remedial, dan jika ditemukan kasus
yang memiliki kesulitan belajar dan memiliki masalah di luar itu, seperti
masalah sosial psikologis dan sebagainya, maka sebelum diremedial kasus harus
mendapatkan layanan konseling, layanan psikologis dan atau layanan psikoterapis
terlebih dahulu.
Alternatif tindakan ini dapat berupa:
a.
Mengulang bahan yang telah
diberikan dan diberi petunjuk-petunjuk:
(1)
Memahami istilah-istilah
kunci/pokok yang ada dalam TIK.
(2)
Memberi tanda bagian-bagian
penting yang merupakan kelemahan siswa.
(3)
Membuat pertanyaan-pertanyaan
untuk mengarahkan siswa.
(4)
Memberi dorongan dan semangat
belajar.
(5)
Menyediakan bahan-bahan lain
untuk mempermudah.
(6)
Mendiskusikan
kesulitan-kesulitan siswa.
b.
Memberi kegiatan lain yang
setara dengan kegiatan belajar mengajar yang sudah ditempuh. Disini dimaksudkan
untuk memperkaya bahan yang telah diberikan kepada siswa, misalnya:
(1)
Kegiatan apa yang harus
dikerjakan siswa.
(2)
Bahan apa yang dapat menunjang
kegiatan yang sedang dilakukan.
(3)
Bagian mana yang harus mendapat
penekanan.
(4)
Pertanyaan apa yang diajukan
untuk memusatkan pada inti masalah.
(5)
Cara yang baik untuk menguasai
bahan.
c.
Tindakan yang berupa referal
Jika kesulitan belajar disebabkan oleh faktor sosial, pribadi,
psikologis yang di luar jangkauan guru, maka guru melakukan alih tangan kepada
ahli lain, misalnya: konselor, psikolog, terapis, psikiater, sosiolog, dan
sebagainya.
3.
Langkah ketiga: Evaluasi
Pengajaran Remedial
Pada akhir pengajaran remedial perlu dilakukan evaluasi, seberapa
pengajaran remedial tersebut meningkatkan prestasi belajar. Tujuannya untuk
mencapai tingkat kebehasilan 75% menguasai bahan. Jika belum berhasil, kemudian
dilakukan diagnosis kembali, prognosis dan pengajaran remedial berikutnya;
demikian seterusnya sampai beberapa siklus hingga tercapai tingkat keberhasilan
tersebut.
F. Pendekatan dan Metode
Pengajaran Remedial
Ada tiga pendekatan pengajaran remedial, yaitu:
1.
Pendekatan Pencegahan (preventive approach)
Sebelum proses belajar mengajar dimulai guru seharusnya berusaha
dengan berbagai cara untuk mengetahui kondisi awal para siswa, dan memprediksi
beberapa siswa yang mungkin akan mengalami kesulitan. Dengan demikian, guru
dapat mencegah kesulitan berkembang secara berlarut-larut dengan menggunakan
multi media, multi metode, alat peraga yang lengkap dan gaya mengajar yang
menarik dalam proses belajar mengajar.
2.
Pendekatan Penyembuhan (curative approach)
Pendekatan ini diberikan
terhadap siswa yang nyata-nyata telah mengalami kesulitan dalam mengikuti
proses belajar mengajar. Gejalanya, prestasi belajar sangat rendah dibandingkan
dengan kriteria, misalnya 75% penguasaan bahan.
3.
Pendekatan Perkembangan (developmental approach)
Guru dituntut senantiasa
mengikuti perkembangan siswa secara sistematis. Caranya, guru secara terus
menerus memonitor kegiatan siswa selama proses belajar mengajar. Setiap menemui
hambatan, segera dipecahkan bersama siswa secara terus menerus.
G. Rangkuman
Kesulitan belajar yang dialami
siswa, diidentifikasi melalui faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil
belajar. Ada dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu: faktor yang berasal dari
dalam diri siswa sebagai faktor intern dan faktor yang berasal dari luar diri
siswa sebagai faktor ekstern.
Pengelompokkan faktor-faktor tersebut di atas, sebagai berikut:
Faktor-faktor intern, adalah: 1). Sikap terhadap belajar, 2). Motivasi belajar,
3). Konsentrasi dalam belajar, 4). Mengolah bahan belajar, 5). Menyimpan
perolehan hasil belajar, 6). Menggali hasil belajar yang tersimpan, 7).
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja, 8). Rasa percaya diri siswa, 9).
Inteligensi dan keberhasilan belajar, 10). Kebiasaan belajar, 11). Cita-cita
siswa. Sedangkan, faktor-faktor ekstern, adalah: 1). Guru sebagai pembina siswa
dalam belajar, 2). Prasarana dan sarana pembelajaran, 3). Kebijakan dalam
penilaian, 4). Lingkungan sosial siswa di sekolah, 5). Kurikulum sekolah.
Bila kemudian
ditemukan sejumlah siswa tidak memenuhi kriteria persyaratan ketuntasan materi
yang ditetapkan, maka kegiatan diagnosis terutama harus ditujukan kepada: 1).
Bakat yang dimiliki siswa yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang
lain, 2). Ketekunan dan tingkat usaha yang dilakukan siswa, 3). Waktu yang
tersedia untuk menguasai ruang lingkup tertentu sesuai bakat siswa, 4).
Kualitas pengajaran yang tersedia sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan
karakteristik siswa, 5). Kemampuan siswa untuk memahami tugas-tugas belajarnya,
6). Tingkat dari jenis kesulitan yang diderita siswa.
“Kesulitan Belajar”,
adalah suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil yang optimal. Pemahaman akan
konsep kesulitan belajar sangat luas, termasuk pengertian-pengertian: “learning disorder”, “learning
disabilities”, “learning disfunction”,
“underachiever”, dan “slow
learners”.
Beberapa ciri tingkah
laku yang merupakan pernyataan manifestasi gejala kesulitan belajar: 1).
Menunjukkan hasil belajar yang rendah dibawah rata-rata nilai kelompok, 2).
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan, 3). Lambat
dalam melakukan tugas kegiatan belajar, 4). Menujukkan sikap-sikap yang kurang
wajar, seperti: acuh ta acuh, menentang, berpura-pura, dusta, 5). Menunjukkan
tingkah laku yang berkelainan,seperti: membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, mengganggu di dalam dan di luar kelas, tidak mencatat
pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri,
tersisihkan, tidak mau bekerja sama, 6). Menunjukkan gejala emosional yang
kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang
gembira dalam mengahadpi situasi tertentu.
Prosedur dan teknik diagnosis kesulitan belajar, dapat ditempuh
dengan melaksanakan langkah-langkah, sebagai berikut: 1). Identifikasi kasus,
2). Identifikasi masalah, 3). Identifikasi faktor penyebab kesulitan belajar,
4).
Prognosis/Perkiraan kemungkinan bantuan, 5). Referal, dimaksudkan
untuk menyusun rencana atau alternatif bantuan yang akan dilaksanakan.
Pengajaran remedial, yaitu: Proses pelaksanaan program belajar mengajar
khusus secara individual kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar,
bersifat mengoreksi (menyembuhkan), sehingga dapat mengikuti proses belajar
mengajar secara klasikal lagi, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang
optimal.
Prosedur pengajaran
remedial meliputi tiga langkah, sebagai berikut:
1.
Menelaah secara mendalam untuk
mengetahui secara pasti masalah, kesulitan, kelemahan, letak kelemahan dan
sebab utama kelemahan untuk mempertimbangkan perlunya ahli lain.
2.
Memberikan alternatif tindakan:
Mungkin siswa perlu mengulang bahan yang telah diberikan, diberikan bahan
pengayaan atau direfer ke ahli lain.
3.
Evaluasi: Tujuannya untuk
mengetahui seberapa prestasi belajar meningkat setelah diberi pengajaran
remedial, yang diharapkan sebesar 75%. Jika belum mencapai harapan, perlu
dilakukan diagnosis kembali, prognosa dan remedial lagi, sampai beberapa siklus
hingga berhasil.
Pendekatan
pengajaran remedial meliputi tiga macam, yaitu:
1.
Pengajaran preventif, diberikan
kepada siswa untuk mengantisipasi jangan sampai menemui kesulitan.
2.
Pendekatan kuratif, diberikan
kepada siswa yang telah mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar,
sehingga perlu disembuhkan atau dikoreksi.
3.
Pendekatan developmental, di
mana guru secara terus menerus memonitor kegiatan belajar mengajar, yang setiap
ditemui hambatan segera dipecahkan. Guru secara sistematis mengikuti
perkembangan siswa.
H. Latihan
1.
Jelaskan dan masukkan ke dalam
dua pengelompokkan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar !
2.
Jelaskan apa yang dimaksudkan
dengan “kesulitan belajar” !
3.
Jelaskan apa yang dimaksudkan
dengan: “learning disorder”, “learning disabilities”, learning
disfunction”, “underachiever”,
dan “slow learners” !
4.
Kemukakan ciri-ciri tingkah
laku yang merupakan manifestasi dari gejala kesulitan belajar ?
5.
Kemukakan pandapat anda, apa
yang dapat dikatakan sebagai “kegagalan belajar” dari seorang siswa yang sedang
belajar ?
6.
Buatlah skema dan kemudian anda
jelaskan langkah-langkah diagnosis kesulitan belajar !
7.
Jelaskan yang dimaksud pengajaran
remedial !
8.
Jelaskan karakteristik siswa
yang cocok diberikan alternatif dua a (2a), yaitu mengulang bahan !
9.
Diberikan kepada karakteristik
siswa yang mana, cocok diberikan bahan setara atau pengayaan (alternatif 2 b) ?
10. Yang perlu direfer oleh guru kelas siswa yang seperti apa, beri
contoh ?
11. Jelaskan pentingnya evaluasi pengajaran remedial !
12. Apa tindakan guru, jika pengajaran remedial belum mencapai tingkat
keberhasilan 75% penguasaan bahan ?
13. Jelaskan masing-masing jenis pendekatan pengajaran remedial !
I. Daftar
Pustaka
Alan O. Ross. 1974. Psychological Disorder of Children. Mc. Graw-Hill Kogakusha Ltd.
Tokyo.
Burton H. W. 1952. The Guidance of Learning Activities. N.Y. Appleton Century-Craffts.
Inc.
Depdikbud, Universitas Terbuka.1984/1985. Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial. Jakarta.
Dimyati & Mudjiono.1994. Belajar dan Pembelajaran. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Jakarta.
Prayitno. 1995/1995. Materi Layanan Pembelajaran.
Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling (“Dari Pola Tidak Jelas ke Pola
Tujuh Belas”). Depdikbud. Jakarta.
BAB VII
KESEHATAN MENTAL
Tujuan
Instruksional Khusus:
2.
Menjelaskan pengertian kesehatan mental
3.
Menjelaskan manifestasi gejala kesehatan
mental
4.
Menjelaskan langkah-langkah pokok terwujudnya
kesehatan mental
5.
Menjelaskan langkah preventif dalam mewujudkan
kesehatan mental
6.
Menjelaskan langkah kuratif dalam mewujudkan
kesehatan mental
7.
Menjelaskan langkah preservatif dalam
mewujudkan kesehatan mental
A.
PENGERTIAN KESEHATAN MENTAL
Istilah sehat jasmani atau sehat
mental dalam kehidupan sehari-berarti memiliki daya tahan yang baik yaitu
memiliki energi untuk bekerja dan melakukan sesuatu serta merasa nyaman dan
segar. Individu tidak merasakan hal-hal yang tidak enak, pusing, mual, lelah
atau segan dan malas dalam menghadapi pekerjaaannya.
Orang yang sehat mentalnya berarti
mempunyai integrasi pribadi, mempunyai kemampuan bertindak secara efisien,
mempunyai gairah hidup dan mempunyai tujuan hidup. Apa yang dilakukan ada
korelasi antara potensi yang dimiliki dengan tindakan sehingga terjadi
keharmonian dan ketenangan. Orang yang sehat mentalnya mengalami keseimbangan
atau dalam keadaan equilibrium.
Langkah-langkah terwujudnya
kesehatan mental adalah :
a.
Usaha yang bersifat preventif
yaitu usaha mengadakan pencegahan dengan
cara mengurangi sebab-sebab gangguan mental atau penyakit mental.
b.
Usaha yang bersifat kuratif
yaitu usaha perbaikan atau pengembalian keseimbangan terhadap gangguan mental
dan penyakit mental melalui terapi
c.
Usaha preservatif yaitu usaha
pemeliharaan atau penjagaan agar keadaan yang seimbang tetap terjaga dengan
baik
Pelaksaanaan langkah-langkah
tersebut di atas harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi maksudnya dapat
berdiri sendiri atau terjadi secara serentak.
Dalam dunia pendidikan siswa didik
dan juga guru diharapkan sehat mentalnya agar dalam memberi dan menerima
pelajaran dapat berjalan lancar oleh karena usaha-usaha untuk menjaga kesehatan
mental harus diupayakan.
1. PREVENTIF
Pelaksanaan kesehatan mental di
sekolah secara preventif adalah bagaimana supaya peserta didik dapat melakukan
penyesuaian diri secara baik.
Menurut Winarno Surahmad,
penyesuaian diri yang berhasil adalah :
-Mampu memenuhi kebutuhan dengan baik dan cukup tidak berlebihan atau
kekurangan
-Tidak menganggu/merugikan individu lain dalam memenuhi kebutuhannya
-Bertanggung jawab terhadap masyarakat di mana ia berada (tolong
menolong secara aktif)
Jadi penyesuaian diri adalah suatu
usaha manusia untuk mencapai keharmonian diri sendiri di dalam lingkungannya.
Sebaliknya bila usaha-usaha itu berupa tingkah laku yang menimbulkan
permusuhan, irihati, merampas hak orang lain, kedengkian, kecemburuan serta
egoistis yang mampu membawa ketidak harmonian maka seseorang dapat dikatakan malajustmen
atau malasuai.
Macam-macam penyesuaian diri yang
dapat dipelajari anak di sekolah misalnya :
1.
Penyesuaian diri terhadap
keluarga (Family adjustment)
2.
Penyesuaian diri terhadap
masyarakat (Social adjustment)
3.
Penyesuaian diri terhadap
kehidupan di sekolah (School adjustment)
4.
Penyesuaian diri memilih
perguruan tinggi (College Adjustment)
5.
Penyesuaian diri terhadap
jabatan (Vocational adjustment)
6.
Penyesuaian diri terhadap
perkawinan (Marriage adjustment)
Penjelasan :
a. Penyesuaian Diri Terhadap Keluarga (Family Adjustment)
Kehidupan di sekolah bukan hanya
tanggung jawab guru dan siswa semata. Orangtua tetap harus mengawasi dan
mengarahkan anaknya serta bekerja sama dengan guru untuk membantu mengembangkan
potensi positif anaknya dan mengurangi potensi yang bersifat negatif.
Begitu juga otoritas guru di
sekolah hendaknya tidak mengurangi wibawa orangtua di rumah. Dengan menerima
pelajaran budi pekerti atau moral atau agama di sekolah seharusnya siswa
menjadi lebih memahami posisi dan peran tanggung jawab orangtua serta
menghormati orangtua terutama orangtua dan guru yang membimbing dan mengarahkan
mereka.
b. Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat (Social Adjustment)
Kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler
atau keorganisasian dalam sekolah misalnya OSIS, paskibra, PMI, pramuka, grup
sepak bola, tim basket dan sebagainya merupakan sarana bagi peserta didik
melakukan adjusment secara sosial.
Penyesuaian yang terjadi adalah :
-
adanya kesanggupan untuk
mengadakan relasi yang sehat
-
kesanggupan untuk bereaksi
secara efektif dan harmonis dengan kenyataan sosial
-
kesanggupan untuk menghargai
dan menjalankan hukum
-
kesanggupan untuk menghargai
pribadi oranglain serta mengakui hak-hak orang lain
-
kesanggupan untuk mejalin
persahabatan
-
simpati dan empati terhadap
orang lain, dalam bentuk memberi pertolongan, jujur, cinta kebenaran, rendah
hati dan sebagainya
c. Penyesuaian Diri Terhadap Kehidupan Di Sekolah (School Adjustment)
Penyesuaian diri terhadap kehidupan
sekolah hendaknya bersifat konstruktif :
-
patuh terhadap disiplin yang
diterapkan sekolah
-
mengakui otoritas guru
-
minat yang tinggi terhadap mata
perlajaran di sekolah
-
mampu memanfaatkan secara
maksimal situasi dan fasilitas yang disediakan di sekolah dengan baik
d. Penyesuaian Diri Memasuki Perguruan Tinggi (College Adjustment)
Menjadi mahasiswa merupakan salah
satu alternatif untuk menuju dunia kerja. Peluang untuk menjadi mahasiswa telah
disiapkan ketika SMA, dimana peserta didik telah dihadapkan untuk memilih
jurusan yang disukai dan diminati dan benar=-benar sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Kesalahan dalam memilih jurusan walaupun tidak cukup fatal bisa
berakibat pada penyesalan di kemudian hari. Selain itu siswa harus
mengantisipasi :
-
Memilih perguruan tinggi yang
sesuai dengan situasi, kondiiisi dan materi yang dipunyai
-
Realistis dan menerima secara
sadar kemampuannya dan mampu menempatkan diri semestinya
e. Penyesuaian Diri Terhadap Jabatan (Vocational Adjustment)
Di SMU sekarang, walaupun sudah
banyak organisasi yang diperkenalkan untuk diikuti oleh siswa tampaknya
pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan mulai diupayakan sebagai program
resmi. Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Jiwa kepemimpinan
dan kewirausahaan tampaknya harus dipupuk semakin dini oleh karena itu sekolah
rupanya dituntut juga untuk mengupayakan siswa beradaptasi dengan sikap-sikap:
-
kemandirian
-
tidak mengantungkan diri pada
orang lain
-
punya cita-cita dan mempunyai
tekad yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya
-
mempunyai jiwa kepemimpinan
f. Penyesuaian Diri Terhadap Perkawinan (Marriage Adjustment)
Pendidikan seks yang sampai
sekarang masih menjadi kontroversi apakah perlu jadi pelajaran khusus di
sekolah sebenarnya upaya untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas dan hal-hal
negatif yang muncul akibat pergaulan bebas tersebut. Pada intinya sekolah
menyiapkan siswa didik untuk menyesuaikan diri terhadap :
-
Perubahan tubuh dan
hormon-hormon dan efek positif dan negatif yang muncul mengiringinya
-
memahami mengenai peran
jenis/seks role
-
memahami reproduksi sehat
-
memahami hahekat pernikahan dan
norma-norma yang mengatur
-
memahami mengenai pergaulan
yang sehat
2. KURATIF
Sekolah tidak bisa berlepas tangan
ketika siswanya mengalami masalah, justru sekolah sebagai suatu komunitas dapat
memberikan bantuan dan dukungan yang cukup besar baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada siswa untuk mengatasi permasalahannya. Misalnya :
-
Penanggulangan siswa yang
merosot prestasinya
-
Penanggulangan siswa yang
merokok
-
Penanggulangan siswa yang
bermasalah dengan keluarga
-
Penanggulangan siswa yang minder/pemalu
-
Penanggulangan siswa yang
tawuran
-
Dll
3. PRESERVATIF
Hal yang paling sulit dalam upaya
kesehatan mental adalah memelihara secara berkesinambungan atmosfir kesehatan
mental di sekolah. Kesehatan mental bukanlah upaya perorangan tetapi integrasi
antara komunitas sumber daya manusia, lingkungan, fasilitas dan perlatan serta
proses yang melingkupinya. Jadi kesehatan mental di sekolah bukanlah bersifat
progam tersendiri tetapi merupakan jiwa dari keseluruhan kegiatan atau
aktivitas yang diadakan oleh sekolah.
Setiap sekolah bisa membuat standar
kesehatan mental sendiri tetapi secara umum adalah menyangkut:
-
upaya untuk menjaga secara
sadar kebersihan, kesehatan dan keindahan serta keamanan sekolah, lingkungan
dan manusianya
-
aktivitas yang energik dan
bersemangat untuk saling mewujudkan potensi positif SDMnya
-
Berkurangnya potensi-potensi
negatif dan terciptanya lingkungan yang kondusif
-
Kreativitas SDM
-
Standar prestasi yang tinggi
sesuai potensi yang dimiliki SDMnya
PERTANYAAN :
1.
Apa definisi kesehatan mental ?
2.
Apa saja tugas sekolah dalam
menjaga kesehatan mental ?
3.
Jelaskan tahapan dalam menjaga
kesehatan mental secara umum !
4.
Jelaskan
langkah preventif dalam mewujudkan kesehatan mental !
5.
Jelaskan
langkah kuratif dalam mewujudkan kesehatan mental !
6.
Jelaskan
langkah preservatif dalam mewujudkan kesehatan mental !
DAFTAR
PUSTAKA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar